Saturday 25 May 2013

Apa setelah Analekta Beruq-Beruq ?

 

Sekarang Analekta Beruq-Beruq, Setelah Itu Apa?
Peluncuran dan Diskusi Buku Analekta Beruq-Beruq di Graha Cadika, Polewali Mandar. Foto ini milik koran Radar Sulbar.

 

 

 

Buku Analekta Beruq-Beruq, Perempuan Mandar Menjawab (ABB) yang digagas dan diproses sekitar setahunan telah terbit. Apresiasi masyarakat dan terutama media massa, baik di Mandar maupun di propinsi tetangga, Sulawesi Selatan, yang menggembirakan, sangat melegakan, bukan saja bagi kalangan yang membidani lahirnya buku ini tetapi pula pengamat dan pecinta dunia literasi.  Harapan disemai bahwa setelah buku ini, akan muncul efek susulan. Buku lain, misalnya. Peningkatan minat baca, minat menulis, minat berkarya, minat menggali Mandar, minat menumbuhkan kebudayaan di Mandar. Minat pemerintah mengakomodir dan memfasilitasi keinginan menggerakkan dunia literasi di Mandar. Seribu harapan.

 

Setelah di Polewali 13 April lalu,  beberapa sesi berikutnya untuk acara launching buku masih lagi akan digelar di kabupaten lain di Sulawesi Barat dan Makassar. Sebelum mengetikkan tulisan ini, mulai muncul sebuah pengumuman di internet mengajak tommuane Mandar membuat buku sebagai “jawaban” atas “tantangan” buku ABB yang ditulis para towaine Mandar. Sembari mengetikkan tulisan ini,  wawancara mengenai buku ABB dari TVRI Makassar tengah menunggu waktu tayang. Juga, selagi mengetikkan ini, Kappung Beruq-Beruq, komunitas di Facebook yang membidani ABB tengah hangat dan sengit-sengitnya mengkritisi tulisan yang direncanakan untuk dihadirkan dengan terbitnya buku kedua akhir tahun ini.

 

Fenomena kebangunan tersebut sungguh membesarkan hati. Tinggal pertanyaannya adalah, apa setelah semua hingar bingar ini?

 

Problematika yang paling sering kita alami adalah, kemampuan kita untuk mempertahankan pencapaian. Semangat yang kita miliki untuk melakukan terobosan sangat besar dan itu patut dipuji. Beberapa bukti bisa disodorkan. Dalam kaitannya dengan buku, semua hampir tak akan menolak ide untuk membangun perpustakaan besar . Setelah perpustakaan didirikan. Kita lega, urusan selesai. Persoalan bagaimana menghidupkan perpustakaan, persoalan lain yang kadang tak masuk ke hitungan karena memang untuk menghitungnya, tidak semudah membangun fisik perpustakaan.

 

Membangun perpustakaan boleh dikata persoalan terberatnya adalah anggaran. Ada anggaran, perpustakaan berdiri. Bahkan dalam hitungan tak sampai setahun. Sementara mengajak orang menghidupkan perpustakaan, bukan semata urusan anggaran. Ia bangunan tak kasat mata yang tak bisa didirikan dalam setahun. Banyak yang terjebak mengukur pencapaian pembangunan dan keberhasilan pemerintahan dengan menghitung bangunan yang didirikan dalam sebuah periode kekuasaan. Bukan sedikit pejabat pengambil kebijakan yang lupa bahwa pembangunan perangkat lunak yang akan memberi ruh kepada bangunan yang mereka anggarkan tak kalah penting. Kita bisa melihat bahwa setidaknya sejak pertama kali diperkenalkan oleh  PBB 1990 lalu, jangankan mengukur kemajuan dengan jumlah bangunan megah yang dimiliki, dunia malah sudah meninggalkan ukuran lama untuk menilai keberhasilan pembangunan dengan melihat semata merujuk pada kemajuan ekonomi.

 

Pembangunan mesti menempatkan manusia sebagai sentralnya. Karena itulah ukuran pembangunan mesti merujuk pada pembangunan manusia. Disepakati bahwa ukuran pembangunan yang dipandang paling mampu, untuk saat ini, mengakomodir aspek-aspek kemanusiaan  adalah Human Development Index, HDI, yang parameternya meliputi  derajat kesehatan, pendidikan dan income.

 

Kembali ke buku ABB yang, katakanlah, target terdekatnya adalah memacu semangat menulis, kira-kira apakah itu akan tercapai? Bukan tak mungkin buku ini akan berakhir tragis seperti bangunan yang tanpa ruh. Terlebih karena, memang, menumbuhkan minat menulis bukan pekerjaan gampang dan bukan pekerjaan yang bisa selesai hanya dengan anggaran dan dalam tempo singkat. Orang-orang yang terbiasa mengukur kemajuan dengan bangunan pun tak akan terpesona dan tak akan terpukau sehingga proyek tak kasat mata macam ini sangat boleh jadi bukan jualan yang menjanjikan untuk para politisi.  Ia mempersyaratkan banyak tahapan yang, termasuk di dalamnya,  menumbuhkan minat baca.

 

Sekitar Juni tahun lalu, Antara memberitakan pemerintah provinsi Sulawesi Barat telah menerima dana sebesar 1,2 miliar rupiah untuk pengadaan buku. Buku sebanyak 52.000 siap disalurkan ke 52 desa sehingga setiap desa akan menerima 1000 buku. Ini kabar menggembirakan. Walaupun saya secara pribadi pesimis bahwa upaya itu akan berhasil menumbuhkan minat baca.

 

Mengapa? Saya terkenang perpustakaan sekolah saya sewaktu masih sekolah dulu. Bukunya cukup banyak, tetapi buku-buku itu hanya tersimpan rapi di rak. Perpustakaannya sangat bersih, teratur, tetapi bukunya hanya boleh diintip dari balik tirai jendela. Petugas jarang membuka perpustakaan lantaran anak-anak ke perpustakaan suka membongkar buku, atau hanya masuk untuk cekikikan. Beberapa anak malah merusak buku dengan mencoret dan merobek buku. Jika pintunya terbuka, sulit sekali untuk merasa nyaman membaca buku di sana karena suasananya sangat tidak kondusif. Satu lagi, bukunya jarang sekali boleh untuk dipinjam. Saya bersyukur saat itu, karena mampu menunjukkan sikap sebagai pengunjung yang baik, saya selalu dapat keistimewaan untuk membawa pulang beberapa buku. Teman lain tak banyak yang seberuntung itu.

 

Lalu tentang 1000 buku itu, sudah siapkah 52 desa untuk menerima anugerah sebesar itu? Saya justru cenderung berpikir agar ketimbang membagi rata ke 52 desa, dana untuk buku-buku itu difokuskan untuk membangun minat baca di lokasi percontohan. Proyek kecil saja. Satu desa, jika perlu. Sebab membangun minat baca tidak cukup hanya dengan menyiapkan buku. Elemen lain juga perlu dipikirkan.

Misalnya, siapa yang akan membaca. Anggaplah kita fokuskan ke anak-anak. Apakah lingkungan keluarga sudah siap untuk membantu program ini? Bagaimana dengan guru di sekolah? Bagaimana pemerintah lokal? Sudah siapkah di desa seorang pustakawan sejati yang berbahagia melihat buku diacak sepanjang buku itu dibaca?

 

Kita bisa sedikit berkaca pada pengalaman negara lain yang tingkat literasi-nya telah lebih maju. Dua anak kami saat ini tengah bersekolah di Cowandilla Primary School, sebuah sekolah dasar di Adelaide, Australia Selatan. Mereka bersekolah lima hari seminggu dan setiap kali sebelum pulang , gurunya akan membekali mereka pulang ke rumah dengan dua buku bacaan yang berbeda setiap harinya. Buku yang mereka bawa sudah tidak baru lagi, lusuh karena sering dibaca, tetapi tak ada coretan.

 

Buku bacaan yang dibekalkan diatur sesuai usia anak. Umur mereka baru saja 6 dan 8 tahun jadi buku itu biasanya hanya berupa bacaan berisi seratus atau dua ratus kata diselingi gambar yang menarik. Gurunya di sekolah juga sangat pro aktif menjawab pertanyaan orang tua tentang buku bacaan anak. Sang guru mengajari saya bagaimana mendampingi anak saat membaca, misalnya dengan mengajak mereka memperhatikan gambar dalam bacaannya dan meminta mereka berkomentar mengenai gambar dalam bacaan tersebut. Hal tersebut, kata sang guru, bermanfaat untuk menumbuhkan kecerdasan imaginative anak dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri mereka.

 

Setiap bulan, mesti ada seminar yang diadakan sekolah untuk pendampingan anak. Kami menerima undangan untuk seminar mendampingi anak membaca, seminar mendampingi anak menjelajah internet dan seminar lain untuk membantu orang tua memaksimalkan hasil belajar anak. Belum terhitung lagi undangan untuk orang tua datang ke sekolah sekedar ngopi-ngopi dan minum teh dengan guru-guru, setengah atau satu jam setiap bulannya untuk saling berbicara dalam suasana santai tentang perkembangan anak dan hal apa saja. Kadangkala, datang pula para penulis buku untuk duduk membacakan cerita tulisan mereka di depan anak sekolah.

 

Untuk memupuk minat menulis, setiap hari Senin, anak-anak diminta menulis pengalaman mereka berakhir pekan. Tak perlu satu halaman penuh, semampunya saja. Dari sanalah anak-anak belajar merefleksi pengalaman mereka sehari-hari untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. ­­Pemerintah juga memfasilitasi pekan penulis International di mana anak-anak disiapkan wilayah khusus di lokasi acara. Tahun ini, penulis Indonesia, Andrea Hirata, sempat turut membagikan pengalaman menulisnya kepada warga.

 

Alhasil, kita bisa melihat bahwa dengan upaya semacam itu selama bertahun-tahun alangkah berbedanya tingkat literasi dan kekritisan masyarakat Indonesia dengan Australia. Pada beberapa hal kita boleh jadi lebih cerdas daripada mereka. Tetapi, kecerdasan mereka merata, tak seperti kita di mana akses ke wilayah pencerdasan diri sungguh timpang. Ada orang yang pintar sepintar-pintarnya, ada yang tertinggal jauh, tak tersentuh oleh pendidikan.

 

Sungguh tak elok jika gayung yang diulur komunitas Kappung Beruq-Beruq mesti berakhir sebatas launching atau penerbitan buku berikutnya tanpa sambutan yang lebih bermakna bagi kemajuan Mandar dari luluareq di litaq Mandar. Sambutan untuk perubahan mesti menohok ke persoalan mendasar yaitu pada pembudayaan membaca-menulis. Selain dari segelintir penulis Mandar yang telah eksis, buku berikutnya mesti digagas dan dilahirkan oleh lulluareq yang saaat ini membolong di litaq Mandar. Buku tentang Mandar yang tak hanya akan dibaca orang Mandar tetapi di luar Mandar. Mengapresiasi dan mengabarkan pada dunia tentang keberadaan dan kebesaran Mandar sebagai warga dunia.

 

Adelaide,  9.29 pm, 18 April 2013

 

Artikel ini sudah dimuat di koran Radar Sulbar, 19 April 2013

No comments:

Post a Comment