Peluncuran dan Diskusi Buku Analekta Beruq-Beruq di Graha Cadika, Polewali Mandar. Foto ini milik koran Radar Sulbar.
Buku Analekta Beruq-Beruq, Perempuan Mandar Menjawab (ABB) yang
digagas dan diproses sekitar setahunan telah terbit. Apresiasi
masyarakat dan terutama media massa, baik di Mandar maupun di propinsi
tetangga, Sulawesi Selatan, yang menggembirakan, sangat melegakan, bukan
saja bagi kalangan yang membidani lahirnya buku ini tetapi pula
pengamat dan pecinta dunia literasi. Harapan disemai bahwa setelah buku
ini, akan muncul efek susulan. Buku lain, misalnya. Peningkatan minat
baca, minat menulis, minat berkarya, minat menggali Mandar, minat
menumbuhkan kebudayaan di Mandar. Minat pemerintah mengakomodir dan
memfasilitasi keinginan menggerakkan dunia literasi di Mandar. Seribu
harapan.
Setelah di Polewali 13 April lalu, beberapa sesi berikutnya untuk acara launching
buku masih lagi akan digelar di kabupaten lain di Sulawesi Barat dan
Makassar. Sebelum mengetikkan tulisan ini, mulai muncul sebuah
pengumuman di internet mengajak tommuane Mandar membuat buku sebagai “jawaban” atas “tantangan” buku ABB yang ditulis para towaine Mandar.
Sembari mengetikkan tulisan ini, wawancara mengenai buku ABB dari TVRI
Makassar tengah menunggu waktu tayang. Juga, selagi mengetikkan ini, Kappung Beruq-Beruq, komunitas di Facebook
yang membidani ABB tengah hangat dan sengit-sengitnya mengkritisi
tulisan yang direncanakan untuk dihadirkan dengan terbitnya buku kedua
akhir tahun ini.
Fenomena kebangunan tersebut sungguh membesarkan hati. Tinggal pertanyaannya adalah, apa setelah semua hingar bingar ini?
Problematika yang paling sering kita alami adalah, kemampuan kita
untuk mempertahankan pencapaian. Semangat yang kita miliki untuk
melakukan terobosan sangat besar dan itu patut dipuji. Beberapa bukti
bisa disodorkan. Dalam kaitannya dengan buku, semua hampir tak akan
menolak ide untuk membangun perpustakaan besar . Setelah perpustakaan
didirikan. Kita lega, urusan selesai. Persoalan bagaimana menghidupkan
perpustakaan, persoalan lain yang kadang tak masuk ke hitungan karena
memang untuk menghitungnya, tidak semudah membangun fisik perpustakaan.
Membangun perpustakaan boleh dikata persoalan terberatnya adalah
anggaran. Ada anggaran, perpustakaan berdiri. Bahkan dalam hitungan tak
sampai setahun. Sementara mengajak orang menghidupkan perpustakaan,
bukan semata urusan anggaran. Ia bangunan tak kasat mata yang tak bisa
didirikan dalam setahun. Banyak yang terjebak mengukur pencapaian
pembangunan dan keberhasilan pemerintahan dengan menghitung bangunan
yang didirikan dalam sebuah periode kekuasaan. Bukan sedikit pejabat
pengambil kebijakan yang lupa bahwa pembangunan perangkat lunak yang
akan memberi ruh kepada bangunan yang mereka anggarkan tak kalah
penting. Kita bisa melihat bahwa setidaknya sejak pertama kali
diperkenalkan oleh PBB 1990 lalu, jangankan mengukur kemajuan dengan
jumlah bangunan megah yang dimiliki, dunia malah sudah meninggalkan
ukuran lama untuk menilai keberhasilan pembangunan dengan melihat semata
merujuk pada kemajuan ekonomi.
Pembangunan mesti menempatkan manusia sebagai sentralnya. Karena
itulah ukuran pembangunan mesti merujuk pada pembangunan manusia.
Disepakati bahwa ukuran pembangunan yang dipandang paling mampu, untuk
saat ini, mengakomodir aspek-aspek kemanusiaan adalah Human Development Index, HDI, yang parameternya meliputi derajat kesehatan, pendidikan dan income.
Kembali ke buku ABB yang, katakanlah, target terdekatnya adalah
memacu semangat menulis, kira-kira apakah itu akan tercapai? Bukan tak
mungkin buku ini akan berakhir tragis seperti bangunan yang tanpa ruh.
Terlebih karena, memang, menumbuhkan minat menulis bukan pekerjaan
gampang dan bukan pekerjaan yang bisa selesai hanya dengan anggaran dan
dalam tempo singkat. Orang-orang yang terbiasa mengukur kemajuan dengan
bangunan pun tak akan terpesona dan tak akan terpukau sehingga proyek
tak kasat mata macam ini sangat boleh jadi bukan jualan yang menjanjikan
untuk para politisi. Ia mempersyaratkan banyak tahapan yang, termasuk
di dalamnya, menumbuhkan minat baca.
Sekitar Juni tahun lalu, Antara memberitakan pemerintah
provinsi Sulawesi Barat telah menerima dana sebesar 1,2 miliar rupiah
untuk pengadaan buku. Buku sebanyak 52.000 siap disalurkan ke 52 desa
sehingga setiap desa akan menerima 1000 buku. Ini kabar menggembirakan.
Walaupun saya secara pribadi pesimis bahwa upaya itu akan berhasil
menumbuhkan minat baca.
Mengapa? Saya terkenang perpustakaan sekolah saya sewaktu masih
sekolah dulu. Bukunya cukup banyak, tetapi buku-buku itu hanya tersimpan
rapi di rak. Perpustakaannya sangat bersih, teratur, tetapi bukunya
hanya boleh diintip dari balik tirai jendela. Petugas jarang membuka
perpustakaan lantaran anak-anak ke perpustakaan suka membongkar buku,
atau hanya masuk untuk cekikikan. Beberapa anak malah merusak buku
dengan mencoret dan merobek buku. Jika pintunya terbuka, sulit sekali
untuk merasa nyaman membaca buku di sana karena suasananya sangat tidak
kondusif. Satu lagi, bukunya jarang sekali boleh untuk dipinjam. Saya
bersyukur saat itu, karena mampu menunjukkan sikap sebagai pengunjung
yang baik, saya selalu dapat keistimewaan untuk membawa pulang beberapa
buku. Teman lain tak banyak yang seberuntung itu.
Lalu tentang 1000 buku itu, sudah siapkah 52 desa untuk menerima
anugerah sebesar itu? Saya justru cenderung berpikir agar ketimbang
membagi rata ke 52 desa, dana untuk buku-buku itu difokuskan untuk
membangun minat baca di lokasi percontohan. Proyek kecil saja. Satu
desa, jika perlu. Sebab membangun minat baca tidak cukup hanya dengan
menyiapkan buku. Elemen lain juga perlu dipikirkan.
Misalnya, siapa yang akan membaca. Anggaplah kita fokuskan ke
anak-anak. Apakah lingkungan keluarga sudah siap untuk membantu program
ini? Bagaimana dengan guru di sekolah? Bagaimana pemerintah lokal? Sudah
siapkah di desa seorang pustakawan sejati yang berbahagia melihat buku
diacak sepanjang buku itu dibaca?
Kita bisa sedikit berkaca pada pengalaman negara lain yang tingkat
literasi-nya telah lebih maju. Dua anak kami saat ini tengah bersekolah
di Cowandilla Primary School, sebuah sekolah dasar di Adelaide,
Australia Selatan. Mereka bersekolah lima hari seminggu dan setiap kali
sebelum pulang , gurunya akan membekali mereka pulang ke rumah dengan
dua buku bacaan yang berbeda setiap harinya. Buku yang mereka bawa sudah
tidak baru lagi, lusuh karena sering dibaca, tetapi tak ada coretan.
Buku bacaan yang dibekalkan diatur sesuai usia anak. Umur mereka baru
saja 6 dan 8 tahun jadi buku itu biasanya hanya berupa bacaan berisi
seratus atau dua ratus kata diselingi gambar yang menarik. Gurunya di
sekolah juga sangat pro aktif menjawab pertanyaan orang tua
tentang buku bacaan anak. Sang guru mengajari saya bagaimana mendampingi
anak saat membaca, misalnya dengan mengajak mereka memperhatikan gambar
dalam bacaannya dan meminta mereka berkomentar mengenai gambar dalam
bacaan tersebut. Hal tersebut, kata sang guru, bermanfaat untuk
menumbuhkan kecerdasan imaginative anak dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri mereka.
Setiap bulan, mesti ada seminar yang diadakan sekolah untuk
pendampingan anak. Kami menerima undangan untuk seminar mendampingi anak
membaca, seminar mendampingi anak menjelajah internet dan seminar lain
untuk membantu orang tua memaksimalkan hasil belajar anak. Belum
terhitung lagi undangan untuk orang tua datang ke sekolah sekedar ngopi-ngopi
dan minum teh dengan guru-guru, setengah atau satu jam setiap bulannya
untuk saling berbicara dalam suasana santai tentang perkembangan anak
dan hal apa saja. Kadangkala, datang pula para penulis buku untuk duduk
membacakan cerita tulisan mereka di depan anak sekolah.
Untuk memupuk minat menulis, setiap hari Senin, anak-anak diminta
menulis pengalaman mereka berakhir pekan. Tak perlu satu halaman penuh,
semampunya saja. Dari sanalah anak-anak belajar merefleksi pengalaman
mereka sehari-hari untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Pemerintah
juga memfasilitasi pekan penulis International di mana anak-anak
disiapkan wilayah khusus di lokasi acara. Tahun ini, penulis Indonesia,
Andrea Hirata, sempat turut membagikan pengalaman menulisnya kepada
warga.
Alhasil, kita bisa melihat bahwa dengan upaya semacam itu selama
bertahun-tahun alangkah berbedanya tingkat literasi dan kekritisan
masyarakat Indonesia dengan Australia. Pada beberapa hal kita boleh jadi
lebih cerdas daripada mereka. Tetapi, kecerdasan mereka merata, tak
seperti kita di mana akses ke wilayah pencerdasan diri sungguh timpang.
Ada orang yang pintar sepintar-pintarnya, ada yang tertinggal jauh, tak
tersentuh oleh pendidikan.
Sungguh tak elok jika gayung yang diulur komunitas Kappung Beruq-Beruq mesti berakhir sebatas launching atau penerbitan buku berikutnya tanpa sambutan yang lebih bermakna bagi kemajuan Mandar dari luluareq di litaq Mandar.
Sambutan untuk perubahan mesti menohok ke persoalan mendasar yaitu pada
pembudayaan membaca-menulis. Selain dari segelintir penulis Mandar yang
telah eksis, buku berikutnya mesti digagas dan dilahirkan oleh lulluareq yang saaat ini membolong di litaq Mandar.
Buku tentang Mandar yang tak hanya akan dibaca orang Mandar tetapi di
luar Mandar. Mengapresiasi dan mengabarkan pada dunia tentang keberadaan
dan kebesaran Mandar sebagai warga dunia.
Adelaide, 9.29 pm, 18 April 2013
Artikel ini sudah dimuat di koran Radar Sulbar, 19 April 2013
No comments:
Post a Comment