Friday 31 May 2013

A "magical software" for the short-term decision tree



31 May 2013

Hari itu, kami berkumpul untuk class consultation, mata kuliah ekonomi kesehatan, membahas Markov model.  Markov model itu, kurang lebihnya, bisa dijelaskan sebagai salah satu model yang bisa dipakai untuk menjelaskan dampak penyakit baik biaya ataupun outcomenya (bisanya berupa kualitas hidup penderita dalam satuan yang disebut QALYs) untuk membandingkan apakah suatu obat, tindakan atau intervensi lainnya cost-effective atau tidak.

Walhasil, itulah yang kami kerjakan hari itu di lantai 7- Myer Building, kantor Department of Population Health and General Practice, the UofA.

Professornya menjelaskan banyak hal sebelum akhirnya seorang peserta tiba-tiba nyeletuk. “Prof, can I interrupt you a moment?”

Sure, “ kata Prof tersebut. Usianya masih sangat muda. Awal-awal 40 kutaksir.

What software do you usually use to build your short-term model?”

salah satu contoh short-term model decision tree yang saya ceritakan


“Please, look at what I’ve done”

Ia mengangsur ke depan, nunjukin short-term model yang dia buat, lengkap dengan tampilannya yang hancur. Saya pernah membuat “kehancuran” yang sama untuk model yang saya buat sebelumnya.

Professor tersenyum. “I make them on  Microsoft excel.” Sahut Sang Prof enteng.
Ia mulai membuka filenya, mengklik program Ms Excel, lalu membuat short term modelnya dengan memainkan tombol border kiri, border kanan, atas dan bawah dengan santainya. Saya tertegun. Itulah juga yang saya lakukan setelah menyerah dengan model yang saya buat sebelumnya.

“Hoah.. Really? Are you kidding me?” Teman Kenya ini benar-benar ceplas-ceplos walau pada seorang professor. Kita orang Indonesia tampaknya tak selugas itu menyahuti suatu hal kepada seorang professor. Apalagi yang sekaliber beliau, tulisan-nya langganan jurnal-jurnal terhormat seantero jagad. Tapi sang Prof menanggapinya seraya senyum saja. Tak masalah, rupanya.

So,  untuk yang sedang kesulitan membangun short-term decision tree for the Markov Model, no magic software is needed to build it. You can do that manually by using a very simple magical software named  Microsoft excel. It is simply done by playing with your “border” tab !  

Sara'ba, yang pas untuk winter

Minum saraqba (sara'ba/ sarabba) saat winter sungguh pas. Apalagi jika pas saat sepertinya akan kena flu, diminum malam sebelum masuk sembunyi ke dalam selimut. Biasanya pas bangun besoknya, gejala flu sudah ngacir entah ke mana.

Selagi Oz siap-siap masuk ke musim dingin Juni ini, saya coba meng-google resep sara'ba (resep minuman saraqba, atau resep minuman saraba), tau- tau dapat, cukup banyak, tapi rata-rata seragam di antaranya adalah yang ini http://resepminuman.wordpress.com/2012/11/19/saraba-khas-makasar/ .

Saya sangat berterima kasih untuk siapa pun yang telah mengupload resep ini untuk pertama kalinya, so ini bukan resep saya. Kemaren sempat nyatet dari kakak tapi catatan tertinggal di rumah kami di tanah air.





Sara'ba dauka'... koq mirip kopi susu ya ?



Sara'ba creamy drink
(serves 4)

Please prepare the ingredients
1/2 oz red ginger
1 piece of palm sugar (Um.. not clear ..or any amount that you like )
125 ml sweetened condensed milk
1/2 sachets of creamer (This is also not clear, so.. any amount that you like)
4 glasses of mineral water
 

This is how to make it:


Peel the ginger, wash and crush it
Boil the 4 glasses of water, add it with palm sugar and stir the mixture until it dispensed and boiled.
Turn off the stove then add the milk and the creamer
4 glasses of hot Saraqba is ready to be served

Etos Kerja Warga Australia


Mengapa negara Australia yang wilayahnya begitu luas dan penduduk jauh lebih sedikit dari Indonesia dapat dengan cepat menjadi negara maju? Satu antara penyebabnya yang dapat saya amati selama satu tahun lebih menempuh studi di the University of Adelaide adalah karena etos kerja warga negaranya yang penuh tanggung jawab. Selain bertanggung jawab, warganya juga tampak sangat senang mengerjakan pekerjaan mereka, apa pun pekerjaan itu.



2 Gambar rumah tetangga kami di wilayah Mile End dalam proses pembangunan. Dalam kesempatan itu saya bisa melihat lebih dekat bagaimana tukang batu dan tukang kayu Australia bekerja secara disiplin.


Ada tiga contoh etos kerja warga Australia yang dapat saya kemukakan di sini. Pertama, tukang bangunan atau tukang rumput. Saya perhatikan sebelum pukul delapan pagi, para pekerja sudah berada di tempat dan siap bekerja, meskipun dalam cuaca yang kurang bersahabat dan suhu udara yang sangat rendah. Mereka tetap bekerja, kadang sambil memutar musik untuk menghibur diri. Bandingkan dengan tukang di negara kita. Tiba setelah jam delapan, baru mau masak air untuk bikin kopi. Belum lagi urusan lain, yang dapat menghabiskan waktu. Begitu juga ketika akan pulang jam empat, satu jam sebelumnya biasanya mereka sudah berkemas ini dan itu atau pura-pura sibuk dengan urusan lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya.

Kedua, tenaga medis. Setiap saya mengantar anak ke sekolah, saya melihat sebuah klinik gigi yang dindingnya terbuat dari kaca tranparan. Jadi mereka terlihat jelas dari luar. Jam delapan pagi, dokter dan perawat sudah berada di dalam klinik, mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah itu mereka sudah siap menerima pasien. Bandingkan di negara kita. Saya pernah bekerja sebagai tenaga medis dulu di satu Puskesmas. Karena “sistem” yang sudah terbangun dari awal, kadang kami baru bisa menangani pasien secara sempurna pada jam sembilan pagi. Belum lagi harus kita akui, banyak urusan-urusan kita yang tidak berkaitan dengan tugas pokok justru dibawa ke tempat kerja, misalnya membagi undangan pengantin dari keluarga pejabat kecamatan atau pimpinan di kantor dinas, mengurus jadwal arisan, pesta rujak, kapurung dan lain-lain pada jam kantor.

Ketiga, guru. Ketiga anak kami bersekolah di Cowandilla Primary School. Mereka masuk kelas pukul 08.45 pagi. Setiap saya antar anak ke sekolah sampai ke ruang kelas, gurunya sudah ada dalam kelas dan menyambut kami. Guru mengajar anak-anak dengan penuh kasih sayang. Ketika anak-anak akan pulang sekolah, guru tetap mendampingi mereka di pinggir jalan hingga semua orang tua datang menjemput. Guru tidak akan meninggalkan anak-anak kalau orang tuanya belum datang. Jika waktu penjemputan anak berakhir, serah terima anak akan dilakukan dengan pihak penitipan anak di sekolah. Satu hal lagi, sepanjang yang saya ketahui di sini, tidak pernah ada kasus guru memukul muridnya, senakal apapun.
Inilah tiga jenis contoh etos kerja warga Australia. Seingat saya pada pertengahan tahun 1990-an, tentang etos kerja ini sering diseminarkan di Indonesia termasuk di Makassar. Barangkali perlu dibuka kembali hasil seminar tersebut dan segera disosialisasikan untuk dapat diaplikasikan oleh seluruh warga negara kita. Tentu, lebih baik jika dimulai dari pemimpinnya. ***

Adelaide, 30 Mei 2013


Tulisan ini sudah dimuat di koran Tribun Timur, Makassar, 31 Mey 2013, halaman 23

Sunday 26 May 2013

Lansia di Australia

Hampir setiap negara memiliki cara untuk meningkatkan usia harapan hidup warganegaranya. Di Indonesia, usia harapan hidup masih dalam kisaran 71 tahun, sedangkan di Australia sudah mencapai 84 tahun. Program pemerintah Australia untuk meningkatkan usia harapan hidup dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya sekedar slogan maupun data-data di atas kertas.

PHOTO: Senior couple walking
A senior couple, an image from The Agency Collection/Getty Images, link http://abcnews.go.com/Business/long-live-27-trillion-question/story?id=15642063#.UaHivNi3rRQ


Bagaimana Australia memperlakukan orang tua lanjut usia (senior citizens) dalam kesehariannya? Bagi mereka yang memiliki harta banyak, mungkin tidak ada masalah. Kebanyakan orang tua Australia hidup mandiri. Bagaimana jika orang tua usia lanjut yang harta kekayaannya tidak banyak atau terbatas, demikian pula mereka tidak punya anak-anak yang mampu menanggulanginya? Mereka tidak perlu khawatir, mereka bisa hidup dengan kehidupan yang layak.

Negara menyiapkan rumah untuk lansia tinggal bersama lengkap dengan fasilitasnya. Bagi yang ingin tinggal di rumah pribadi, diberikan uang belanja yang dapat mencukupi kebutuhan dasar setiap dua minggu. Pendek kata, para orang tua lanjut usia itu hanya tinggal makan dan minum saja setiap hari.
Di jalan-jalan tak jarang kita temui orang-orang usia lanjut beraktifitas. Mereka yang lumpuh tetap dapat beraktifitas dengan kursi roda bermesin. Jalur pejalan kaki dengan semen yang utuh, lintasan miring untuk mereka naik dengan kursi roda ke bus, serta ruang khusus yang lapag dan besar untuk kursi roda bisa ditemui di semua kendaraan umum yang disiapkan pemerintah. Ini memungkinkan mereka pergi rekreasi bersama sesama orang tua usia lanjut, atau sekedar reuni duduk-duduk di taman atau cafe. Mereka juga diberikan kemudahan dalam hal biaya transportasi. Dengan kartu senior citizens, mereka boleh naik bus/ tram dan train gratis di luar jam sibuk dan membayar jauh lebih murah pada jam sibuk atau hari libur.

Selain ruang untuk kursi roda, setiap bus/tram/train memiliki kursi khusus bagi orang tua. Tidak boleh orang lain duduk di kursi itu bila ada orang tua lanjut usia. Apabila kursis khusus itu sudah penuh, tapi masih ada orang tua usia lanjut yang belum dapat tempat duduk, maka setiap orang lainnya akan dengan senang hati berdiri dan menyerahkan kursinya kepada orang tua. Sang sopir akan membantu orang tua naik ke bus, bila perlu memiringkan bus untuk memudahkan orang tua itu naik.
Di penyeberangan jalan, walaupun lampu hijau sudah menyala, setiap kendaraan akan tetap berhenti, kalau ada orang tua yang sedang susah payah berjalan hingga tiba di trotoar. Tidak akan ada mobil lain yang membunyikan klakson dan marah-marah tak sabaran. Dalam setiap antrian di mana saja, selalu saja orang tua yang walaupun berada di belakang diberikan prioritas pertama. Memang tidak ada regulasi tertulis untuk hal ini, melainkan budaya dan kesadaran warga Australia dalam menghormati orang tua usia lanjut. Bagaimana dengan di negara kita?***

Tulisan ini sudah dimuat di Tribun Timur, 26 Mey 2013

Saturday 25 May 2013

Apa setelah Analekta Beruq-Beruq ?

 

Sekarang Analekta Beruq-Beruq, Setelah Itu Apa?
Peluncuran dan Diskusi Buku Analekta Beruq-Beruq di Graha Cadika, Polewali Mandar. Foto ini milik koran Radar Sulbar.

 

 

 

Buku Analekta Beruq-Beruq, Perempuan Mandar Menjawab (ABB) yang digagas dan diproses sekitar setahunan telah terbit. Apresiasi masyarakat dan terutama media massa, baik di Mandar maupun di propinsi tetangga, Sulawesi Selatan, yang menggembirakan, sangat melegakan, bukan saja bagi kalangan yang membidani lahirnya buku ini tetapi pula pengamat dan pecinta dunia literasi.  Harapan disemai bahwa setelah buku ini, akan muncul efek susulan. Buku lain, misalnya. Peningkatan minat baca, minat menulis, minat berkarya, minat menggali Mandar, minat menumbuhkan kebudayaan di Mandar. Minat pemerintah mengakomodir dan memfasilitasi keinginan menggerakkan dunia literasi di Mandar. Seribu harapan.

 

Setelah di Polewali 13 April lalu,  beberapa sesi berikutnya untuk acara launching buku masih lagi akan digelar di kabupaten lain di Sulawesi Barat dan Makassar. Sebelum mengetikkan tulisan ini, mulai muncul sebuah pengumuman di internet mengajak tommuane Mandar membuat buku sebagai “jawaban” atas “tantangan” buku ABB yang ditulis para towaine Mandar. Sembari mengetikkan tulisan ini,  wawancara mengenai buku ABB dari TVRI Makassar tengah menunggu waktu tayang. Juga, selagi mengetikkan ini, Kappung Beruq-Beruq, komunitas di Facebook yang membidani ABB tengah hangat dan sengit-sengitnya mengkritisi tulisan yang direncanakan untuk dihadirkan dengan terbitnya buku kedua akhir tahun ini.

 

Fenomena kebangunan tersebut sungguh membesarkan hati. Tinggal pertanyaannya adalah, apa setelah semua hingar bingar ini?

 

Problematika yang paling sering kita alami adalah, kemampuan kita untuk mempertahankan pencapaian. Semangat yang kita miliki untuk melakukan terobosan sangat besar dan itu patut dipuji. Beberapa bukti bisa disodorkan. Dalam kaitannya dengan buku, semua hampir tak akan menolak ide untuk membangun perpustakaan besar . Setelah perpustakaan didirikan. Kita lega, urusan selesai. Persoalan bagaimana menghidupkan perpustakaan, persoalan lain yang kadang tak masuk ke hitungan karena memang untuk menghitungnya, tidak semudah membangun fisik perpustakaan.

 

Membangun perpustakaan boleh dikata persoalan terberatnya adalah anggaran. Ada anggaran, perpustakaan berdiri. Bahkan dalam hitungan tak sampai setahun. Sementara mengajak orang menghidupkan perpustakaan, bukan semata urusan anggaran. Ia bangunan tak kasat mata yang tak bisa didirikan dalam setahun. Banyak yang terjebak mengukur pencapaian pembangunan dan keberhasilan pemerintahan dengan menghitung bangunan yang didirikan dalam sebuah periode kekuasaan. Bukan sedikit pejabat pengambil kebijakan yang lupa bahwa pembangunan perangkat lunak yang akan memberi ruh kepada bangunan yang mereka anggarkan tak kalah penting. Kita bisa melihat bahwa setidaknya sejak pertama kali diperkenalkan oleh  PBB 1990 lalu, jangankan mengukur kemajuan dengan jumlah bangunan megah yang dimiliki, dunia malah sudah meninggalkan ukuran lama untuk menilai keberhasilan pembangunan dengan melihat semata merujuk pada kemajuan ekonomi.

 

Pembangunan mesti menempatkan manusia sebagai sentralnya. Karena itulah ukuran pembangunan mesti merujuk pada pembangunan manusia. Disepakati bahwa ukuran pembangunan yang dipandang paling mampu, untuk saat ini, mengakomodir aspek-aspek kemanusiaan  adalah Human Development Index, HDI, yang parameternya meliputi  derajat kesehatan, pendidikan dan income.

 

Kembali ke buku ABB yang, katakanlah, target terdekatnya adalah memacu semangat menulis, kira-kira apakah itu akan tercapai? Bukan tak mungkin buku ini akan berakhir tragis seperti bangunan yang tanpa ruh. Terlebih karena, memang, menumbuhkan minat menulis bukan pekerjaan gampang dan bukan pekerjaan yang bisa selesai hanya dengan anggaran dan dalam tempo singkat. Orang-orang yang terbiasa mengukur kemajuan dengan bangunan pun tak akan terpesona dan tak akan terpukau sehingga proyek tak kasat mata macam ini sangat boleh jadi bukan jualan yang menjanjikan untuk para politisi.  Ia mempersyaratkan banyak tahapan yang, termasuk di dalamnya,  menumbuhkan minat baca.

 

Sekitar Juni tahun lalu, Antara memberitakan pemerintah provinsi Sulawesi Barat telah menerima dana sebesar 1,2 miliar rupiah untuk pengadaan buku. Buku sebanyak 52.000 siap disalurkan ke 52 desa sehingga setiap desa akan menerima 1000 buku. Ini kabar menggembirakan. Walaupun saya secara pribadi pesimis bahwa upaya itu akan berhasil menumbuhkan minat baca.

 

Mengapa? Saya terkenang perpustakaan sekolah saya sewaktu masih sekolah dulu. Bukunya cukup banyak, tetapi buku-buku itu hanya tersimpan rapi di rak. Perpustakaannya sangat bersih, teratur, tetapi bukunya hanya boleh diintip dari balik tirai jendela. Petugas jarang membuka perpustakaan lantaran anak-anak ke perpustakaan suka membongkar buku, atau hanya masuk untuk cekikikan. Beberapa anak malah merusak buku dengan mencoret dan merobek buku. Jika pintunya terbuka, sulit sekali untuk merasa nyaman membaca buku di sana karena suasananya sangat tidak kondusif. Satu lagi, bukunya jarang sekali boleh untuk dipinjam. Saya bersyukur saat itu, karena mampu menunjukkan sikap sebagai pengunjung yang baik, saya selalu dapat keistimewaan untuk membawa pulang beberapa buku. Teman lain tak banyak yang seberuntung itu.

 

Lalu tentang 1000 buku itu, sudah siapkah 52 desa untuk menerima anugerah sebesar itu? Saya justru cenderung berpikir agar ketimbang membagi rata ke 52 desa, dana untuk buku-buku itu difokuskan untuk membangun minat baca di lokasi percontohan. Proyek kecil saja. Satu desa, jika perlu. Sebab membangun minat baca tidak cukup hanya dengan menyiapkan buku. Elemen lain juga perlu dipikirkan.

Misalnya, siapa yang akan membaca. Anggaplah kita fokuskan ke anak-anak. Apakah lingkungan keluarga sudah siap untuk membantu program ini? Bagaimana dengan guru di sekolah? Bagaimana pemerintah lokal? Sudah siapkah di desa seorang pustakawan sejati yang berbahagia melihat buku diacak sepanjang buku itu dibaca?

 

Kita bisa sedikit berkaca pada pengalaman negara lain yang tingkat literasi-nya telah lebih maju. Dua anak kami saat ini tengah bersekolah di Cowandilla Primary School, sebuah sekolah dasar di Adelaide, Australia Selatan. Mereka bersekolah lima hari seminggu dan setiap kali sebelum pulang , gurunya akan membekali mereka pulang ke rumah dengan dua buku bacaan yang berbeda setiap harinya. Buku yang mereka bawa sudah tidak baru lagi, lusuh karena sering dibaca, tetapi tak ada coretan.

 

Buku bacaan yang dibekalkan diatur sesuai usia anak. Umur mereka baru saja 6 dan 8 tahun jadi buku itu biasanya hanya berupa bacaan berisi seratus atau dua ratus kata diselingi gambar yang menarik. Gurunya di sekolah juga sangat pro aktif menjawab pertanyaan orang tua tentang buku bacaan anak. Sang guru mengajari saya bagaimana mendampingi anak saat membaca, misalnya dengan mengajak mereka memperhatikan gambar dalam bacaannya dan meminta mereka berkomentar mengenai gambar dalam bacaan tersebut. Hal tersebut, kata sang guru, bermanfaat untuk menumbuhkan kecerdasan imaginative anak dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri mereka.

 

Setiap bulan, mesti ada seminar yang diadakan sekolah untuk pendampingan anak. Kami menerima undangan untuk seminar mendampingi anak membaca, seminar mendampingi anak menjelajah internet dan seminar lain untuk membantu orang tua memaksimalkan hasil belajar anak. Belum terhitung lagi undangan untuk orang tua datang ke sekolah sekedar ngopi-ngopi dan minum teh dengan guru-guru, setengah atau satu jam setiap bulannya untuk saling berbicara dalam suasana santai tentang perkembangan anak dan hal apa saja. Kadangkala, datang pula para penulis buku untuk duduk membacakan cerita tulisan mereka di depan anak sekolah.

 

Untuk memupuk minat menulis, setiap hari Senin, anak-anak diminta menulis pengalaman mereka berakhir pekan. Tak perlu satu halaman penuh, semampunya saja. Dari sanalah anak-anak belajar merefleksi pengalaman mereka sehari-hari untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. ­­Pemerintah juga memfasilitasi pekan penulis International di mana anak-anak disiapkan wilayah khusus di lokasi acara. Tahun ini, penulis Indonesia, Andrea Hirata, sempat turut membagikan pengalaman menulisnya kepada warga.

 

Alhasil, kita bisa melihat bahwa dengan upaya semacam itu selama bertahun-tahun alangkah berbedanya tingkat literasi dan kekritisan masyarakat Indonesia dengan Australia. Pada beberapa hal kita boleh jadi lebih cerdas daripada mereka. Tetapi, kecerdasan mereka merata, tak seperti kita di mana akses ke wilayah pencerdasan diri sungguh timpang. Ada orang yang pintar sepintar-pintarnya, ada yang tertinggal jauh, tak tersentuh oleh pendidikan.

 

Sungguh tak elok jika gayung yang diulur komunitas Kappung Beruq-Beruq mesti berakhir sebatas launching atau penerbitan buku berikutnya tanpa sambutan yang lebih bermakna bagi kemajuan Mandar dari luluareq di litaq Mandar. Sambutan untuk perubahan mesti menohok ke persoalan mendasar yaitu pada pembudayaan membaca-menulis. Selain dari segelintir penulis Mandar yang telah eksis, buku berikutnya mesti digagas dan dilahirkan oleh lulluareq yang saaat ini membolong di litaq Mandar. Buku tentang Mandar yang tak hanya akan dibaca orang Mandar tetapi di luar Mandar. Mengapresiasi dan mengabarkan pada dunia tentang keberadaan dan kebesaran Mandar sebagai warga dunia.

 

Adelaide,  9.29 pm, 18 April 2013

 

Artikel ini sudah dimuat di koran Radar Sulbar, 19 April 2013