Monday 17 September 2012

No worries, Satomi, I am fine !




Perempuan Jepang ibu satu anak itu terdiam.


Aku minta maaf, katanya dari seberang telepon, kau ternyata memintaku me-miskol-mu atau mengirimi-mu sms. Aku tidak menyadari permintaan-mu itu.


Aku tercekat.

Kesal, sedih dan marah mengeringkan kerongkonganku. Pertarungan antara sumpah serapah dan kehancuran silang siur siap dimuntahkan. Kuhela nafas yang begitu berat melintasi sempit dadaku. Diamnya dan diamku begitu pekat. Aku mendengar nafasnya menunggu. Berat seperti waktu.

Entah berapa lama, hingga yang keluar justru, “No, that’s okey, Satomi (#). I am fine, please just let me know once the tutorial is already over.


Itu lagi, aku malah membujuknya. Anak itu baru saja meng-kali nol kesempatanku meraih 10 % dari total nilai mata kuliah kami dengan sukses, hanya karena ia teledor tak meneleponku untuk masuk ke ruangan sebelum tutorial dimulai.


Aku menggigil.


Hari itu aku kehabisan dua kesempatan sekaligus. Aku sudah mengalah tak ikut kelas pagi karena tugas kelompok kami mendadak harus diubah pada menit terakhir dan dia dengan seorang kawan lain dalam grup kami, Nanz, dari Mongol sudah angkat tangan tak bisa bekerja dalam kondisi tertekan. Aku pun mengalah mengorbankan tak ikut kuliah pagi.


Tapi sungguh, aku memesannya untuk memberitahuku jika tutorial, sesi berikutnya yang bernilai 10% sudah harus dimulai. Selama mereka kuliah, aku di hub central menyelesaikan tugas kami. Ia kuminta memiskol atau meng-sms karena tak lucu muncul di saat tak tepat saat semua orang sudah duduk dalam kelas. Ia malah tak memberitahuku.


Aku bolak-balik ke sekitar ruangan mereka, Schulz 306a,  tapi pintu yang tertutup rapi itu mendesakku mundur. Serba salah. Kumiskol dia untuk bertanya, tak disahut. Akhirnya aku berprasangka baik mungkin kuliah molor lagi karena sang dosen, Professor kami, kadang suka lupa waktu kalau diskusi sehingga sesi lanjutannya yaitu tutorial kadang molor.


Alhamdulillah, tak lama kemudian ia menelepon-ku, aku lega dan memberesi barang-barangku siap menuju ke ruangan. Apa daya, berita yang kudengar sungguh menusuk, tutorial mereka sudah lebih dari separuh jalan di sana. Bunuh diri untuk muncul ke sana setelat itu.


Mataku nanar oleh air mata kemarahan, sudah mengalah “dilupakan” lagi.

Hatiku hampa setelah memaafkannya dan membujuknya. Ia tak banyak bicara. Perempuan Jepang itu menungguku mengakhiri percakapan. Suaraku kucoba riang, “I am waiting you for rehearsing our presentetation, here in the hub


Sungguh kupakai waktuku untuk menata hati. Pemuda Cina yang duduk di meja seberangku kikuk dan malu. Aku tak tahu bahwa selagi pikiranku demikian blank, mataku ternyata menempel di wajahnya.

Masya Allah, sampai sebegitunya aku dibawa pikiranku. Aku yang tengah sedih kehilangan 10 % dengan cara yang tragis, mungkin malah tengah dianggap kagum dan terpesona pada pemuda berkaca mata itu. Astaghfirullah. Lucunya cobaan ini.


Cara Tuhan menawarkan kesedihanku sungguh lucu. Dengan tanpa sadar aku perlahan dipulihkan-Nya sebagai ganjaran atas mengendalikan kemarahan dan memaafkan kesalahan. Aku mengangguk ramah pada pemuda itu dan kurasa dengan segera, walau tanpa kata, dia tahu, aku tidak sedang terpana tetapi malah sedang mati rasa. Ia hanya nyengir kuda melihatku J


Walhasil, Satomi tiba di hadapanku. Ia minta maaf lagi. Tapi aku sudah mampu mengendalikan diri dan menanggapinya ringan saja. Sudahlah 10 %, melayanglah, tapi presentasi ini harus sukses. Memalukan kalau kita tampil dengan bahasa Inggris yang seadanya begini terus lagi-lagi tak bisa menjawab pertanyaan. Indonesia, Jepang dan Mongol yang mesti menanggung malu.


Aku tak akan bilang siapa yang bekerja keras di antara kami bertiga karena kami bertiga betul-betul habis-habisan. Sungguh bukan hal yang mudah bagi kami membahas ekonomi yang bukan bidang kami, dari teks yang bukan bahasa kami tentang wilayah yang bukan tanah air kami di hadapan orang-orang yang, ya ampun, tahu betul tentang apa kami bicara.


Waktu kelompok di bagi dan kami bertemu, kami kaget betul bahwa kami tak punya satu pun native student di kelompok kami. Kami malah cuma tiga orang. Yang lain 4, bahkan ada yang ber-6.


Waktu Prof. John Moss menyapa kami yang kebingungan, Nanz merangsek protes.

“John, how will we deal with this. We don’t have any Australian in our group.”

Beliau malah tersenyum. “No, that’s perfectly okey. you will be fine.”


Ah, indahnya punya dosen seperti itu.


Demikianlah kami berputar-putar berhari-hari dengan itu semua.  Satu-satu kami cermati peta kota Adelaide membandingkan status sosial ekonomi mereka, fasilitas kesehatan yang ada, masalah kesehatan yang dihadapi. Stau-satu kami coba memengerti laporan keuangan dan rencana anggaran dan belanja Negara bagian Australia Selatan. Befgitulah terseok-seok kami membesarkan hati untuk berani menentukan anggaran yang harus dialokasikan dan sok tau mengoreksi anggaran yang sudah disediakan pemerintah.


Aku gemetar membayangkan bagaimana kalau ada yang bertanya lalu aku tahu jawabannya tapi aku kesulitan menjelaskannya dengan teratur? Atau bagaimana kalau aku tak mengerti apa yang mereka tanyakan karena mereka biasanya bicara kencang dan kumur-kumur? Malunya jika ditanya A lalu kita jawabnya B. Itu presentasi di kelas besar. Sekitar 50 orang  lebih karena kelas ini gabungan antara dua universitas, Flinders dan The UofA.


Sulitnya lagi walaupun sudah memastikan semuanya benar dan siap, pagi sebelum presentasi itu, kami malah mendadak harus bekerja lagi membenahi beberapa data dan analisa yang ternyata tak tepat. Mereka menyerah dan aku yang harus bertahan menyelesaikan, dan kemalanganku selanjutnya ditambahi lagi dengan kehilangan nilai tutorial itu.


Tapi begitulah, perjuangan selalu ada likunya. Alhamdulillah aku tetap bisa menjaga spirit tim agar tetap focus menghadapi bagian terberat yaitu presentasi kami dengan tak menyemprot Satomi habis-habisan walaupun aku punya pilihan untuk itu.


Alhamdulillah, kami masuk ke ruang presentasi tetap sebagai sahabat. Dan Tuhan membalas jerih payah itu dengan manis. Kami presentasi dengan segenap kelemahan kami dan pertanyaan paling sulit yang kami sudah siap hadapi ternyata tak disinggung karena kami sudah terangkan dengan baik dengan data-data ilmiahnya. Tepuk tangan iringi kami selesai presentasi. Prof John Moss tersenyum. Kembali ke tempat dudukku, ketika melewati Bing, seorang kawan Australi yang berimigrasi dari China sempat menggamit tanganku dengan erat,


“Good!” Bisiknya, sungguh membesarkan hati.


Aku terharu mengenangkan perjuanganku menyelesaikan tugas presentasi kami.

Allah sungguh Maha Baik.


Ia mengendalikan kemarahanku, menghiburku dengan canda yang lucu tentang pemuda China yang tersipu itu lalu membiarkan kami menyelesaikan presentasi kami tanpa harus dipermalukan.


Di persimpangan, ketika aku harus berpisah dari Satomi untuk sholat Asyar di Union Building lantai 6, Satomi menggenggam tanganku.


“I’ll cook shushi for you next Monday. I know you don’t eat pork and meat, so I’ll provide it as a vegetarian style for you. “


Perempuan Jepang itu betul-betul ingin minta maaf.


Adelaide, 10.02, 18 September 2012.

# ) Nanz dan Satomi, bukan lagi nama mereka yang asli untuk melindungi privasi mereka,

# ) Professor kami namanya tak kuganti sebagai penghargaan dan rasa bangga saya atas kepribadian beliau yang betul-betul hangat dan baik. 

#) selebihnya, sebagian besar kisah ini benar. Beberapa "bumbu kata" mungkin tidak dikutipkan secara tepat . Sebagaimana laiknya setiap tukang masak meracik makanan mereka dari bumbu dan bahan yang sama tetapi mungkin dengan kadar yang berbeda. Saya hanya ingin pesan sampai dan bukan agar ketepatannya dapat diukur. Jika ada yang salah, semoga Allah mengampuniku.

No comments:

Post a Comment