Perempuan Jepang ibu satu anak itu terdiam.
Aku minta maaf, katanya dari seberang telepon, kau ternyata
memintaku me-miskol-mu atau mengirimi-mu sms. Aku tidak menyadari
permintaan-mu itu.
Aku tercekat.
Kesal, sedih dan marah mengeringkan kerongkonganku. Pertarungan
antara sumpah serapah dan kehancuran silang siur siap dimuntahkan. Kuhela nafas
yang begitu berat melintasi sempit dadaku. Diamnya dan diamku begitu pekat. Aku
mendengar nafasnya menunggu. Berat seperti waktu.
Entah berapa lama, hingga yang keluar justru, “No, that’s
okey, Satomi (#). I am fine, please just let me know once the tutorial is
already over.”
Itu lagi, aku malah membujuknya. Anak itu baru saja
meng-kali nol kesempatanku meraih 10 % dari total nilai mata kuliah kami dengan
sukses, hanya karena ia teledor tak meneleponku untuk masuk ke ruangan sebelum
tutorial dimulai.
Aku menggigil.
Hari itu aku kehabisan dua kesempatan sekaligus. Aku sudah
mengalah tak ikut kelas pagi karena tugas kelompok kami mendadak harus diubah
pada menit terakhir dan dia dengan seorang kawan lain dalam grup kami, Nanz,
dari Mongol sudah angkat tangan tak bisa bekerja dalam kondisi tertekan. Aku
pun mengalah mengorbankan tak ikut kuliah pagi.
Tapi sungguh, aku memesannya untuk memberitahuku jika
tutorial, sesi berikutnya yang bernilai 10% sudah harus dimulai. Selama mereka
kuliah, aku di hub central menyelesaikan tugas kami. Ia kuminta memiskol
atau meng-sms karena tak lucu muncul di saat tak tepat saat semua orang sudah
duduk dalam kelas. Ia malah tak memberitahuku.
Aku bolak-balik ke sekitar ruangan mereka, Schulz 306a, tapi pintu yang tertutup rapi itu mendesakku
mundur. Serba salah. Kumiskol dia untuk bertanya, tak disahut. Akhirnya aku
berprasangka baik mungkin kuliah molor lagi karena sang dosen, Professor kami,
kadang suka lupa waktu kalau diskusi sehingga sesi lanjutannya yaitu tutorial
kadang molor.
Alhamdulillah, tak lama kemudian ia menelepon-ku, aku lega
dan memberesi barang-barangku siap menuju ke ruangan. Apa daya, berita yang
kudengar sungguh menusuk, tutorial mereka sudah lebih dari separuh jalan di
sana. Bunuh diri untuk muncul ke sana setelat itu.
Mataku nanar oleh air mata kemarahan, sudah mengalah
“dilupakan” lagi.
Hatiku hampa setelah memaafkannya dan membujuknya. Ia tak
banyak bicara. Perempuan Jepang itu menungguku mengakhiri percakapan. Suaraku
kucoba riang, “I am waiting you for rehearsing our presentetation, here in
the hub”
Sungguh kupakai waktuku untuk menata hati. Pemuda Cina yang
duduk di meja seberangku kikuk dan malu. Aku tak tahu bahwa selagi pikiranku
demikian blank, mataku ternyata menempel di wajahnya.
Masya Allah, sampai sebegitunya aku dibawa pikiranku. Aku
yang tengah sedih kehilangan 10 % dengan cara yang tragis, mungkin malah tengah
dianggap kagum dan terpesona pada pemuda berkaca mata itu. Astaghfirullah. Lucunya
cobaan ini.
Cara Tuhan menawarkan kesedihanku sungguh lucu. Dengan tanpa
sadar aku perlahan dipulihkan-Nya sebagai ganjaran atas mengendalikan kemarahan
dan memaafkan kesalahan. Aku mengangguk ramah pada pemuda itu dan kurasa dengan
segera, walau tanpa kata, dia tahu, aku tidak sedang terpana tetapi malah
sedang mati rasa. Ia hanya nyengir kuda melihatku J
Walhasil, Satomi tiba di hadapanku. Ia minta maaf lagi. Tapi
aku sudah mampu mengendalikan diri dan menanggapinya ringan saja. Sudahlah 10
%, melayanglah, tapi presentasi ini harus sukses. Memalukan kalau kita tampil
dengan bahasa Inggris yang seadanya begini terus lagi-lagi tak bisa menjawab
pertanyaan. Indonesia, Jepang dan Mongol yang mesti menanggung malu.
Aku tak akan bilang siapa yang bekerja keras di antara kami
bertiga karena kami bertiga betul-betul habis-habisan. Sungguh bukan hal yang
mudah bagi kami membahas ekonomi yang bukan bidang kami, dari teks yang bukan
bahasa kami tentang wilayah yang bukan tanah air kami di hadapan orang-orang
yang, ya ampun, tahu betul tentang apa kami bicara.
Waktu kelompok di bagi dan kami bertemu, kami kaget betul
bahwa kami tak punya satu pun native student di kelompok kami. Kami malah
cuma tiga orang. Yang lain 4, bahkan ada yang ber-6.
Waktu Prof. John Moss menyapa kami yang kebingungan, Nanz
merangsek protes.
“John, how will we deal with this. We don’t have any Australian
in our group.”
Beliau malah tersenyum. “No, that’s perfectly okey. you will
be fine.”
Ah, indahnya punya dosen seperti itu.
Demikianlah kami berputar-putar berhari-hari dengan itu
semua. Satu-satu kami cermati peta kota
Adelaide membandingkan status sosial ekonomi mereka, fasilitas kesehatan yang
ada, masalah kesehatan yang dihadapi. Stau-satu kami coba memengerti laporan
keuangan dan rencana anggaran dan belanja Negara bagian Australia Selatan.
Befgitulah terseok-seok kami membesarkan hati untuk berani menentukan anggaran
yang harus dialokasikan dan sok tau mengoreksi anggaran yang sudah disediakan
pemerintah.
Aku gemetar membayangkan bagaimana kalau ada yang bertanya
lalu aku tahu jawabannya tapi aku kesulitan menjelaskannya dengan teratur? Atau
bagaimana kalau aku tak mengerti apa yang mereka tanyakan karena mereka
biasanya bicara kencang dan kumur-kumur? Malunya jika ditanya A lalu kita
jawabnya B. Itu presentasi di kelas besar. Sekitar 50 orang lebih karena kelas ini gabungan antara dua
universitas, Flinders dan The UofA.
Sulitnya lagi walaupun sudah memastikan semuanya benar dan
siap, pagi sebelum presentasi itu, kami malah mendadak harus bekerja lagi
membenahi beberapa data dan analisa yang ternyata tak tepat. Mereka menyerah
dan aku yang harus bertahan menyelesaikan, dan kemalanganku selanjutnya
ditambahi lagi dengan kehilangan nilai tutorial itu.
Tapi begitulah, perjuangan selalu ada likunya. Alhamdulillah
aku tetap bisa menjaga spirit tim agar tetap focus menghadapi bagian terberat
yaitu presentasi kami dengan tak menyemprot Satomi habis-habisan walaupun aku
punya pilihan untuk itu.
Alhamdulillah, kami masuk ke ruang presentasi tetap sebagai
sahabat. Dan Tuhan membalas jerih payah itu dengan manis. Kami presentasi dengan
segenap kelemahan kami dan pertanyaan paling sulit yang kami sudah siap hadapi
ternyata tak disinggung karena kami sudah terangkan dengan baik dengan
data-data ilmiahnya. Tepuk tangan iringi kami selesai presentasi. Prof John
Moss tersenyum. Kembali ke tempat dudukku, ketika melewati Bing, seorang kawan
Australi yang berimigrasi dari China sempat menggamit tanganku dengan erat,
“Good!” Bisiknya, sungguh membesarkan hati.
Aku terharu mengenangkan perjuanganku menyelesaikan tugas
presentasi kami.
Allah sungguh Maha Baik.
Ia mengendalikan kemarahanku, menghiburku dengan canda yang
lucu tentang pemuda China yang tersipu itu lalu membiarkan kami menyelesaikan
presentasi kami tanpa harus dipermalukan.
Di persimpangan, ketika aku harus berpisah dari Satomi untuk
sholat Asyar di Union Building lantai 6, Satomi menggenggam tanganku.
“I’ll cook shushi for you next Monday. I know you don’t eat
pork and meat, so I’ll provide it as a vegetarian style for you. “
Perempuan Jepang itu betul-betul ingin minta maaf.
Adelaide, 10.02, 18 September 2012.
# ) Nanz dan Satomi, bukan lagi nama mereka yang asli untuk melindungi privasi mereka,
# ) Professor kami namanya tak kuganti sebagai penghargaan dan rasa bangga saya atas kepribadian beliau yang betul-betul hangat dan baik.
#) selebihnya, sebagian besar kisah ini benar. Beberapa "bumbu kata" mungkin tidak dikutipkan secara tepat . Sebagaimana laiknya setiap tukang masak meracik makanan mereka dari bumbu dan bahan yang sama tetapi mungkin dengan kadar yang berbeda. Saya hanya ingin pesan sampai dan bukan agar ketepatannya dapat diukur. Jika ada yang salah, semoga Allah mengampuniku.