Pokko yang akan kuceritakan berikut
ini adalah Pokko’ yang kukenal di permulaan 2003, dan yang bersamanya aku
tertawa dan menangis hingga kutinggalkan ia dengan pada suatu siang di bulan April
2004, lantaran pindah tempat penugasan ke Puskesmas Pelitakan, Kecamatan
Tapango, Propinsi Sulawesi Barat.
Gambaran Umum
|
Peta wilayah Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, emnunjukkan Anreapi, yang ibukotanya adalah Pokko dengan warna kuning emas.
|
Pokko’ adalah nama sebuah desa. Di
banding dengan ibukota kecamatan lain di wilayah Kabupaten Polewali Mandar,
Sulawesi Barat, Pokko yang merupakan ibu kota kecamatan Anreapi ini bentuknya cukup unik. Karena letaknya seolah-olah di lereng,
dikelilingi gunung dan dihimpit sungai
besar, Sungai Kunyi’, rumah-rumah penduduk tak bisa dibayangkan untuk terpetak
dalam blok-blok yang rapi. Perumahan berdiri sepanjang jalan, selapis saja, menyiasati
tebing sungai di belakang mereka .
“Pusat kota” adalah kantor camat. Letaknya
di perempatan jalan. Besarnya, pada masa itu, tahun 2003-2004 sekitar 10 x 15
meter persegi. Semua masih serba sederhana, lantaran Pokko’ masih merupakan
daerah yang baru saja dimekarkan, memisah dari kecamatan yang letaknya di
sekitar pusat kota, sekitar 5 km dari tempat itu. Perbedaan antara fasilitas
dan infrastuktur Pokko dengan daerah kecamatan Darma sungguh besar di kala itu.
Darma menikmati aspal licin, keramaian dan fasilitas khas kota kabupaten,
sebuah kecamatan di tengah ibukota kabupaten.
Alangkah beda dengan Pokko’. Selepas
kecamatan Darma, segera kita akan masuki wilayah yang di kiri kanannya sawah, selepas
itu, jalan diapit tebing gunung dan
sungai. Kau akan tahu telah tiba di Pokko. Jika kau merasa udara menjadi lebih
dingin dari sebelumnya, kau sudah tiba di Pokko’.
Tak ada mini market di Pokko’. Tak
ada pasar yang bisa dikunjungi setiap hari. Yang ada hanya bahwa setiap Rabu (?
Eh koq lupa ya)) pagi, di perempatan dekat pustu (Puskesmas Pembantu), depan
gudang bekas kantor desa, tempat masyarakat menyimpan dan membagi raskin (beras
bantuan pemerintah untuk orang miskin), sekitar 10 orang pedagang, ada yang
dari kota ada pula yang turun dari gunung, datang dan menggelar tikar lalu mengatur dagangan
di situ. Saat itulah penduduk lokal bisa berbelanja.
Di pasar Pokko’, ikan segar, datang dari
kota. Yang khas dan selalu hadir adalah ikan yang penduduk sebut lai’-lai’, sejenis
baronang. Hampir setiap minggu ikan itu harus ada. Saking fanatiknya penduduk local
dengan kehadiran lai’-lai’, pasar tanpa nama itu sesekali bisa punya
nama. Pasar lai’-lai’, begitulah si ikan menjadi brand untuk menamai si pasar.
|
ikan baronang, ketika tiba di Pokko' namanya berubah menjadi Lai'-Lai'
|
Walau kecil begitu, di pasar dadakan
itu ada yang menjual pakaian. Daster, sarung, pakaian anak-anak dan dewasa ada
di situ, harganya sungguh terjangkau. Pegawai puskesmas yang rata-rata tinggal
di kota suka berbelanja di situ lantaran harganya polos dan jujur. Barang yang
sama di kota tak bisa semurah itu. Mungkin itulah kecerdasan sosial sang
pedagang, pandai membaca pasar dan konsumen yang rata-rata kaum menengah ke
bawah.
Pedagang dari gunung turun membawa
kopi dan beras. Sayuran dan kacang-kacangan dapat disuplay dari kota, atau
dibawa turun dari gunung. Sesekali hadir pula pedagang obat. Loudspeaker-nya
dipasang kencang-kencang mengguncang pagi. Diselingi lagu dangdut yang
mendentum.
Fasilitas
Layanan Masyarakat
Pada tahun 2003 itu fasilitas
layanan pemerintah belum banyak. Yang ada di Pokko, seingatku:
Kantor
pemerintahan: kantor camat dan kantor
desa merangkap gudang raskin.
Sekolah
menengah : SMP ada satu tetapi baru saja dirintis,
Sekolah
Dasar : 3 atau 4, yang saya ingat SD Inpres Kunyi, SD Kelapa 2..
Sarana pelayanan kesehatan: ada 1 yaitu Puskesmas Pembantu
Sarana
ibadah : di Pokko’ ada 2 masjid.
Pabrik
kerikil 1.
Warung
serba kurang (hehe): Warungnya Junet,
Warungnya mama Yani, warungnya siapa lagi itu ya.. pokoknya 4 lah.
Servis
motor : 1
Sambungan
telepon tidak ada, listrik ada, air dialirkan melalui pipa dari sungai.
Apa
lagi ya..
Bagaimana Aku
Mengenalnya?
Oh ya, di masa itu petugas kesehatan
hanya seorang bidan desa, ibu Nurmiah Tale. Setelah pemekaran, Kepala Dinas
Kesehatan masa itu, dr. H. Ahmad Azis, M. Kes, kemudian memandang perlu untuk
mendekatkan masyarakat dengan dokter, maka di awal-awal masa tugas saya, selain
bekerja di Puskesmas Pekkabata, di pusat kota, saya dijadwalkan sekali seminggu
untuk mengunjungi masyarakat di Pokko.
|
Bapak dr. H. Achmad Azis, M. Kes, mantan kepala dinas kesehatan kabupaten Polewali Mandar, saat ini beliau menjabat kepala dinas kesehatan Propinsi Sulawesi Barat.
|
|
Tampak depan, gedung puskesmas pekkabata, tempat saya bekerja pada awalnya.
|
Demikianlah awalnya saya ke Pokko’,
pertama kali diantar oleh ibu kepala UPT Pekkabata yang saat itu dijabat oleh
ibu Hj. Marwah, kami ke sana dengan ambulans yang disopiri oleh pak Syahar, salah
satu staf di Puskesmas Pekkabata.
Waktu itu, Pustu Anreapi, demikian
nama pusat pelayanan kesehatan satu-satunya di Pokko’ yang melayani 4 desa di
wilayah kecamatan itu, merupakan bangunan kecil yang selain berfungsi sebagai
tempat pelayanan masyarakat, separuh bangunan juga difungsikan sebagai rumah
tinggal bidan desa.
Waktu aku tiba, ruangan pustu yang
tersisa untuk kami bekerja adalah sebuah ruang seukuran 6 x 6 meter persegi yang
dipetak sedemikian rupa untuk menampung ruang tunggu, loket, kamar periksa,
kamar kecil dan gudang. Enam bilik dalam ruang seukuran itu !
Aku membongkar lemari dan menemukan
peralatan medis seolah-olah sudah dari jaman Belanda, berdebu dan bau apek di dalamnya.
Tabung alat suntik dari kaca dan jarum-jarumnya untuk keperluan berulang kali
pakai, beberapa cawan petri dan pipa-pipa yang tak pernah kulihat selain di
buku-buku sejarah peralatan medis. Manual-manual tua dengan edjaan jang
belum disempoernakan.
Beberapa barang itu masih dalam
kartun seolah tak pernah dibuka semenjak diterima. Entahlah.
Saya mulai mendata obat apa yang ada
dan bertanya tentang keadaan masyarakat serta lingkungan sekitar yang kira-kira
relevan dengan permasalahan kesehatan pada bu bidan di situ.
Lalu kami pulang. Kembali ke pos
semula, puskesmas Pekkabata.
Kesan pertama terhadap pustu kecil
itu, jalan aspal rusak dan kerimbunan serta udaranya yang sejuk. Serta bahasa
yang baru saja kudengar di sana, bahas Pattae’, tinggal dengan segarnya di
kepalaku.
Hari baru menunggu, pikirku.
Entah apa, tetapi yang pasti, aku sungguh
tertarik.
Sumber kutipan dan gambar
http://www.mdgspolman.org/about/
https://encrypted-tbn2.google.com/images?q=tbn:ANd9GcRvJ8-hNaqa7Z3dWNI52nAWRieMSkgHANTf4_pqmF0fFJLrOe479g
http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/sany0037.jpg
https://encrypted-tbn1.google.com/images?q=tbn:ANd9GcSE9df3xFnmYX-tuEZriyvRykBG4Ey5l_MXaJ3bCmdczSuboeeNuw
Dimana posisinya Bang Haidir saat itu? koq tidak masuk dalam memoar indah ini.
ReplyDeleteini Pokko' sebelum 10 Agustus 2003 :)
ReplyDeletekalau kutulis di sini kehadiran-mu, Bang,
itu akan menjadi fitnah,
karena Allah saksinya,
saya tidak berpacaran dengan calon suami-ku sebelum kami menikah.
Oya, kisah tentang Pokko pasca pernikahan, beserta dengan hadirnya mas Luqman, adalah kisah edisi berikutnya,
boleh jika abang mau menyumbang tulisan di sini,
dengan senang hati akan ku-publish, insya Allah