Aku melihatnya di ruang muslimah, mushollah lantai 6.
Siang yang sibuk di Union Building. Ruang kecil yang
disediakan universitas tumplek oleh students muslim yang bergegas sholat
di sela jam kuliah.
Dzuhur, di sela-sela mereka yang lalu lalang antara tikar
sholat dan tempat wudhu, sebagian membuka kotak bekal makan siang mereka
sembari mengobrol dengan bisik yang tertahan-tahan.
Aku di sudut ruang yang tersisa. Memandang pada jajaran
mereka yang tengah sholat. Dan gadis muda itu. Ia sholat tanpa mukenah.
Jubahnya coklat, kaku, terbuat dari katun tebal. Panjang menyerupai jas.
Wajahnya putih.
Tiga bulan di sini, hampir empat, dan tetap tak bisa kutebak
negeri asal orang dari wajahnya.
Apakah dia orang Iran? Pakistan? Palestina? Turki?
Afganistan?
Entahlah.
Tak tahu.
Ia tak akan kuperhatikan, tak mungkin lebih lama, kcuali
karena satu hal.
Ketika ia selesai sholat, ia bersimpuh dan memulai berzikir.
Dan saat ia berzikir,
Ia menghitung zikirnya dengan ibu jari menyusur ruas-ruas jari
tangan kanannya,
Persis,
Seperti cara yang diajarkan bapakku,
Puluhan tahun yang lalu,
Di pelosok terpencil Sulawesi Barat,
Dalam rumah kamni,
Di atas sajadah merah yang wanginya masih dapat kubaui
hingga detik ini. Wangi jidat ayahku yang menyentuhnya basah saat sujud.
Dan air mataku tergenang. Jatuh diam-diam kuhanyuti gerak
jarinya.
Karena tak pernah kulihat orang yang seperti itu.
Tak kubayangkan akan menemui gerak itu.
Terlebih di sini. Di negeri yang asing. Dan seorang gadis
yang tak kukenal,
Entah dari negeri mana,
Duduk bersimpuh dan berzikir,
Dengan menghitung ibu jari dan ruas jari tangan kanannya,
Persis,
Seperti cara yang diajarkan bapakku,
Yang kini telah tiada.
(Adelaide, North Terrace, 13.49. 1 May 2012)
No comments:
Post a Comment