Minggu
inilah tepatnya musim gugur menghampir.
Jalanan
penuh guguran daun.
Udara
dingin.
Hujan
pun turun sebentar dan sebentarnya lagi.
Setiap
angin bertiup, udara menikam ke tulang.
Mungkin
engkau pernah tahu di mana sebuah tempat bernama rindu bisa dibekukan.
Mungkin
mereka dibekukan dalam mata-mu.
Dan
dicairkan di jalan itu.
Tak
apa, tak ada yang perlu dikuatirkan. Wajah-wajah berlalu seperti topeng tanpa
karsa. Tak ada persinggungan antara duka-mu dan duka mereka. Jadi tak mengapa
bahwa pada suatu ketika itu, saat tidak ada yang lebih jelas daripada batu
dalam dada-mu. Batu yang mungkin bukan sekedar rindu. Batu kelelahan.
Kau
biarkan seribu anak sungai beruraian dari sana.
Juga
tak apa kalau selalu saja ada jalan-jalan
di awal malam, ketika lampu-lampu mulai dinyalakan dan langit menggelap, engkau
harus memalingkan wajahmu ke jalan di luar jendela bus. Dan tangismu
disuarakan. Dengung sajalah sepuasmu, karena deru mesin akan membawanya pada
malam. Dan malam tak peduli. Dan bukankah indah persinggungan antara cahaya dan
buliran air yang mengambang di mata-mu? Kristal warna-warni yang mengurai
cahaya. Ada dan tiada. Sesuatu yang bisa kau halau sekali tepis dari mata-mu dan
engkau senang bahwa masih ada yang bisa dihalau dari kesedihan yang itu.
Tak
usah. Jangan kau peduli bahwa kau kau tahu semua orang bergegas di sekitarmu
pulang untuk memeluk putri mereka yang paling kecil dan menidurkan mereka. Mereka
pulang untuk mengecek, PR apa yang anak mereka bawa pulang hari itu.
Dan
sekali tak usah kau hapus airmata itu.
Terima
sajalah seperti daun-daun menerima jatuh dan berserakan di jalan itu.
Ini
sudah tiba musim gugur.
Mata-mu
tak mengenal musim, tapi.
Rindu
tak mengenal waktu dan permisi.
Semua
pun mahfum, apa yang kau panggul di pundak-mu. Semua pun mahfum, tak mungkin
kau baik-baik saja. Tetapi jika seseorang tiba pada pertanyaan apa kabar, maka
jawabannya tentu dan pasti, baik-baik saja.
Daun-daun
jatuh dan terus jatuh. Di sepanjang musim ini, sebelum musim dingin merontokkan
helai terakhir, menenggelamkan mereka ke dalam kekeringan yang beku. Dan
burung-burung yang menandai pagi tak berkicau di pokok-pokok pohon sebelah
rumah. Tak apa kau tetap menangis.
Tak
mengapa kau baui betapa wangi air mata itu sembari kau nyalakan laptop dan
berkicau tentang sarapanmu hari ini. Apa kabar Athirah, Sudah sholat Luqman,
bagaimana pelajaranmu Fauziyah?
Daun-daun
terus berguguran. Berguguran. Rindu batu tak kenal musim.
Bagot.
Surrounded by heater voice. 24 April 2012
No comments:
Post a Comment