Thursday 26 April 2012

Sebuah kampung bernama Pokko'



Pokko yang akan kuceritakan berikut ini adalah Pokko’ yang kukenal di permulaan 2003, dan yang bersamanya aku tertawa dan menangis hingga kutinggalkan ia dengan pada suatu siang di bulan April 2004, lantaran pindah tempat penugasan ke Puskesmas Pelitakan, Kecamatan Tapango, Propinsi Sulawesi Barat.


Gambaran Umum


Peta wilayah Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, emnunjukkan Anreapi, yang ibukotanya adalah Pokko dengan warna kuning emas.


Pokko’ adalah nama sebuah desa. Di banding dengan ibukota kecamatan lain di wilayah Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Pokko yang merupakan ibu kota kecamatan Anreapi ini  bentuknya cukup unik.  Karena letaknya seolah-olah di lereng, dikelilingi gunung dan dihimpit  sungai besar, Sungai Kunyi’, rumah-rumah penduduk tak bisa dibayangkan untuk terpetak dalam blok-blok yang rapi. Perumahan berdiri sepanjang jalan, selapis saja, menyiasati tebing  sungai di belakang mereka . 



“Pusat kota” adalah kantor camat. Letaknya di perempatan jalan. Besarnya, pada masa itu, tahun 2003-2004 sekitar 10 x 15 meter persegi. Semua masih serba sederhana, lantaran Pokko’ masih merupakan daerah yang baru saja dimekarkan, memisah dari kecamatan yang letaknya di sekitar pusat kota, sekitar 5 km dari tempat itu. Perbedaan antara fasilitas dan infrastuktur Pokko dengan daerah kecamatan Darma sungguh besar di kala itu. Darma menikmati aspal licin, keramaian dan fasilitas khas kota kabupaten, sebuah kecamatan di tengah ibukota kabupaten.



Alangkah beda dengan Pokko’. Selepas kecamatan Darma, segera kita akan masuki wilayah yang di kiri kanannya sawah, selepas itu, jalan  diapit tebing gunung dan sungai. Kau akan tahu telah tiba di Pokko. Jika kau merasa udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya, kau sudah tiba di Pokko’.



Tak ada mini market di Pokko’. Tak ada pasar yang bisa dikunjungi setiap hari. Yang ada hanya bahwa setiap Rabu (? Eh koq lupa ya)) pagi, di perempatan dekat pustu (Puskesmas Pembantu), depan gudang bekas kantor desa, tempat masyarakat menyimpan dan membagi raskin (beras bantuan pemerintah untuk orang miskin), sekitar 10 orang pedagang, ada yang dari kota ada pula yang turun dari gunung,  datang dan menggelar tikar lalu mengatur dagangan di situ. Saat itulah penduduk lokal bisa berbelanja. 



Di pasar Pokko’, ikan segar, datang dari kota. Yang khas dan selalu hadir adalah ikan yang penduduk sebut lai’-lai’, sejenis baronang. Hampir setiap minggu ikan itu harus ada. Saking fanatiknya penduduk local dengan kehadiran lai’-lai’, pasar tanpa nama itu sesekali bisa punya nama. Pasar lai’-lai’, begitulah si ikan menjadi brand  untuk menamai si pasar.


ikan baronang, ketika tiba di Pokko' namanya berubah menjadi Lai'-Lai'



Walau kecil begitu, di pasar dadakan itu ada yang menjual pakaian. Daster, sarung, pakaian anak-anak dan dewasa ada di situ, harganya sungguh terjangkau. Pegawai puskesmas yang rata-rata tinggal di kota suka berbelanja di situ lantaran harganya polos dan jujur. Barang yang sama di kota tak bisa semurah itu. Mungkin itulah kecerdasan sosial sang pedagang, pandai membaca pasar dan konsumen yang rata-rata kaum menengah ke bawah.



Pedagang dari gunung turun membawa kopi dan beras. Sayuran dan kacang-kacangan dapat disuplay dari kota, atau dibawa turun dari gunung. Sesekali hadir pula pedagang obat. Loudspeaker-nya dipasang kencang-kencang mengguncang pagi. Diselingi lagu dangdut yang mendentum.


Fasilitas Layanan Masyarakat

Pada tahun 2003 itu fasilitas layanan pemerintah belum banyak. Yang ada di Pokko, seingatku:

Kantor pemerintahan:  kantor camat dan kantor desa merangkap gudang raskin.

Sekolah menengah : SMP ada satu tetapi baru saja dirintis,

Sekolah Dasar : 3 atau 4, yang saya ingat SD Inpres Kunyi, SD Kelapa 2..

 Sarana pelayanan kesehatan:  ada 1 yaitu Puskesmas Pembantu

Sarana ibadah : di Pokko’ ada 2 masjid.

Pabrik kerikil 1.

Warung serba kurang  (hehe): Warungnya Junet, Warungnya mama Yani, warungnya siapa lagi itu ya.. pokoknya 4 lah.

Servis motor : 1

Sambungan telepon tidak ada, listrik ada, air dialirkan melalui pipa dari sungai.

Apa lagi ya..


Bagaimana Aku Mengenalnya?

Oh ya, di masa itu petugas kesehatan hanya seorang bidan desa, ibu Nurmiah Tale. Setelah pemekaran, Kepala Dinas Kesehatan masa itu, dr. H. Ahmad Azis, M. Kes, kemudian memandang perlu untuk mendekatkan masyarakat dengan dokter, maka di awal-awal masa tugas saya, selain bekerja di Puskesmas Pekkabata, di pusat kota, saya dijadwalkan sekali seminggu untuk mengunjungi masyarakat di Pokko.



Bapak dr. H. Achmad Azis, M. Kes, mantan kepala dinas kesehatan kabupaten Polewali Mandar, saat ini beliau menjabat kepala dinas kesehatan Propinsi Sulawesi Barat.


Tampak depan, gedung puskesmas pekkabata, tempat saya bekerja pada awalnya.




 Demikianlah awalnya saya ke Pokko’, pertama kali diantar oleh ibu kepala UPT Pekkabata yang saat itu dijabat oleh ibu Hj. Marwah, kami ke sana dengan ambulans yang disopiri oleh pak Syahar, salah satu staf di Puskesmas Pekkabata.



Waktu itu, Pustu Anreapi, demikian nama pusat pelayanan kesehatan satu-satunya di Pokko’ yang melayani 4 desa di wilayah kecamatan itu, merupakan bangunan kecil yang selain berfungsi sebagai tempat pelayanan masyarakat, separuh bangunan juga difungsikan sebagai rumah tinggal bidan desa.

Waktu aku tiba, ruangan pustu yang tersisa untuk kami bekerja adalah sebuah ruang seukuran 6 x 6 meter persegi yang dipetak sedemikian rupa untuk menampung ruang tunggu, loket, kamar periksa, kamar kecil dan gudang. Enam bilik dalam ruang seukuran itu !



Aku membongkar lemari dan menemukan peralatan medis seolah-olah sudah dari jaman Belanda, berdebu dan bau apek di dalamnya. Tabung alat suntik dari kaca dan jarum-jarumnya untuk keperluan berulang kali pakai, beberapa cawan petri dan pipa-pipa yang tak pernah kulihat selain di buku-buku sejarah peralatan medis. Manual-manual tua dengan edjaan jang belum disempoernakan.  



Beberapa barang itu masih dalam kartun seolah tak pernah dibuka semenjak diterima. Entahlah. 



Saya mulai mendata obat apa yang ada dan bertanya tentang keadaan masyarakat serta lingkungan sekitar yang kira-kira relevan dengan permasalahan kesehatan pada bu bidan di situ.

Lalu kami pulang. Kembali ke pos semula, puskesmas Pekkabata.



Kesan pertama terhadap pustu kecil itu, jalan aspal rusak dan kerimbunan serta udaranya yang sejuk. Serta bahasa yang baru saja kudengar di sana, bahas Pattae’, tinggal dengan segarnya di kepalaku. 



Hari baru menunggu, pikirku.

Entah apa, tetapi yang pasti, aku sungguh tertarik.


Sumber kutipan dan gambar

  1. http://www.mdgspolman.org/about/  

  2. https://encrypted-tbn2.google.com/images?q=tbn:ANd9GcRvJ8-hNaqa7Z3dWNI52nAWRieMSkgHANTf4_pqmF0fFJLrOe479g 

  3. http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/sany0037.jpg

  4. https://encrypted-tbn1.google.com/images?q=tbn:ANd9GcSE9df3xFnmYX-tuEZriyvRykBG4Ey5l_MXaJ3bCmdczSuboeeNuw




Tuesday 24 April 2012

musim gugur menghampir


Minggu inilah tepatnya musim gugur menghampir.
Jalanan penuh guguran daun.
Udara dingin.
Hujan pun turun sebentar dan sebentarnya lagi.
Setiap angin bertiup,  udara menikam ke tulang.




Mungkin engkau pernah tahu di mana sebuah tempat bernama rindu bisa dibekukan.
Mungkin mereka dibekukan dalam mata-mu.
Dan dicairkan di jalan itu. 

Tak apa, tak ada yang perlu dikuatirkan. Wajah-wajah berlalu seperti topeng tanpa karsa. Tak ada persinggungan antara duka-mu dan duka mereka. Jadi tak mengapa bahwa pada suatu ketika itu, saat tidak ada yang lebih jelas daripada batu dalam dada-mu. Batu yang mungkin bukan sekedar rindu. Batu kelelahan.

Kau biarkan seribu anak sungai beruraian dari sana. 




Juga tak apa kalau  selalu saja ada jalan-jalan di awal malam, ketika lampu-lampu mulai dinyalakan dan langit menggelap, engkau harus memalingkan wajahmu ke jalan di luar jendela bus. Dan tangismu disuarakan. Dengung sajalah sepuasmu, karena deru mesin akan membawanya pada malam. Dan malam tak peduli. Dan bukankah indah persinggungan antara cahaya dan buliran air yang mengambang di mata-mu? Kristal warna-warni yang mengurai cahaya. Ada dan tiada. Sesuatu yang bisa kau halau sekali tepis dari mata-mu dan engkau senang bahwa masih ada yang bisa dihalau dari kesedihan yang itu.

Tak usah. Jangan kau peduli bahwa kau kau tahu semua orang bergegas di sekitarmu pulang untuk memeluk putri mereka yang paling kecil dan menidurkan mereka. Mereka pulang untuk mengecek, PR apa yang anak mereka bawa pulang hari itu.

Dan sekali tak usah kau hapus airmata itu.
Terima sajalah seperti daun-daun menerima jatuh dan berserakan di jalan itu.
Ini sudah tiba musim gugur.
Mata-mu tak mengenal musim, tapi.
Rindu tak mengenal waktu dan permisi. 


Semua pun mahfum, apa yang kau panggul di pundak-mu. Semua pun mahfum, tak mungkin kau baik-baik saja. Tetapi jika seseorang tiba pada pertanyaan apa kabar, maka jawabannya tentu dan pasti, baik-baik saja.



Daun-daun jatuh dan terus jatuh. Di sepanjang musim ini, sebelum musim dingin merontokkan helai terakhir, menenggelamkan mereka ke dalam kekeringan yang beku. Dan burung-burung yang menandai pagi tak berkicau di pokok-pokok pohon sebelah rumah. Tak apa kau tetap menangis.


Tak mengapa kau baui betapa wangi air mata itu sembari kau nyalakan laptop dan berkicau tentang sarapanmu hari ini. Apa kabar Athirah, Sudah sholat Luqman, bagaimana pelajaranmu Fauziyah?




Daun-daun terus berguguran. Berguguran. Rindu batu tak kenal musim.

Bagot. Surrounded by heater voice. 24 April 2012

Wednesday 11 April 2012

merindukan Somba, tanah kelahiran-ku


Merindukan Somba itu semacam penyakit kambuhan. Dalam dunia medis, dikenal istilah penyakit kronis. Penyakit kronis ini istilah awamnya penyakit menahun. Termasuk-lah di dalamnya penyakit yang orang awam bisa menyebutnya penyakit gula atau diabetes, penyakit garam eh..darah tinggi, dan penyakit minyak alias gangguan kolesterol, atau penyakit lainnya. Penyakit kronis biasanya mengalami pasang surut serangan. Jadi merupakan bahaya laten. Tak pernah sembuh sempurna. Hanya bisa mengalami fase tenang, atau fase serangan alias kumat atau istilah kedokterannya lagi mengalami fase eksaserbasi akut.

Jadi, merindukan Somba, buat saya, adalah 'penyakit kronis' yang sesekali kumat, masuk ke fase 'eksaserbasi akut'.

Merindukan Somba di kala jauh bisa jadi masalah, sekaligus bisa jadi berkah. Masalah karena tak bisa diterapi dengan segera, berkah karena dengan adanya Internet, saya bisa menjelajah Somba dan menihat-lihat gambarnya, belajar beberapa hal terbaru tentangnya dan mengerti lebih banyak. Begitulah umumnya rindu bisa menumbuhkan beberapa hal.

Penelitian Tentang Somba

1. Penelitian Tentang Air Bersih di Somba

Salah satu hal yang segera kutemui adalah cerita tentang penelitian kawan kita di BPPT, pak  Arie Herlambang, 2003. Beliau mendapati Somba sebagai lahan kering di mana masyarakat sulit mendapati air.

Sumber air masyarakat, kata beliau, adalah air dari tanah dangkal dan PDAM yang hanya mampu mensuplay air dengan kecepatan alir 5 liter per detik alias 432 liter per hari (tak jelas nilai ini untuk seluruh pelanggan atau untuk tiap pelanggan secara rata-rata).

Sebagai warga Somba (# hm, hati-hati ibu Hira..sebagian pengalamanmu itu riwayatnya dari kisah 20 tahun lalu, sudah kadaluarsa, out of date!!!!) saya ingat tak kesulitan mendapat air bersih, sumur kami banyak air. Tetapi memang belakangan, jika pulang libur, dan ini era 2010-an lho, kadang setelah beberapa kali orang mandi, mencuci, memasak dan aktifitas pagi lainnya, sumur kami yang mensuplay air untuk sekitar 3-4 rumah tangga biasanya sudah kering. Harus menunggu sekitar 1-2 jam untuk kembali berisi.

Tentang PDAM, saya ingat persis 20-an tahun silam Bapak (almarhum) memasang sambungan PDAM ke rumah kami. Betapa senangnya punya ledeng, begitu warga Somba menyebut air yang disuplay PDAM.

Tiap hari, kami muncrat-muncratan air di halaman, bahkan abang saya sempat membuat kolam ikan artifisial dan memainkan kapal-kapalan buatannya yang bergerak dengan dorongan dinamo batrei. Ide hebat yang dipraktekkan anak kelas 3 SMPN Somba, (SMP sangat kampung di era 90-an!) dari buku bacaaan fisika-nya (Saya masih tertegun mengenang itu, Wamm !)

Tapi itu tak sebulan, karena kemudian airnya berubah coklat, keruh, lalu alirannya lambat, "kencangnya seperti aliran kencing,' kata tetanggaku di kala itu. Dan pada akhirnya, kami tak pernah lagi dapat aliran air dari pipa ajaib itu dan periode muncrat-muncratan pun berakhir dengan kelegaan ibu kami lantaran tak perlu lagi berteriak histeris memperingatkan kami untuk berhenti.

Tetapi itu-lah kisah air versi warga lokal. Kisah air versi peneliti lain lagi. Peneliti mencermati air Somba dalam kondisi kritis. Bahkan dikenalkannya alat yang disebut Sarpalam (Saringan Pasir Lambat, Slow Sand Filter), alat yang dimodifikasi sedemikian rupa agar mampu menyediakan air bersih dengan cara menyaring air daru sumber air yang ada dengan memakai bahan dan peralatan yang bisa didapat dengan mudah di Somba.

 Yang menjadi pertanyaan apakah saudaraku di Somba mengetahui hasil penelitian ini? Mudah-mudahan, kalau tidak, saudaraku bisa mengklik link ini.

2. Penelitian Tentang Ikan Terbang

 Ikan terbang Somba adalah maskot. Kebanggaan dan kerinduan.
Gambar 2. Ikan terbang, dengan nama ilmiah exocoetidae, panjang, ramping, sisik perak dengan mata bulat.

Ikan terbang pernah diliput dengan manis di Kompas.
Gambar 3. Tampilan menggoda ikan terbang panggang. Di kampung ini warga menyebutnya, banggulung tapa, pada tahun 2000-an awal harganya tak lebih dari Rp. 100 per-ekor.

Dua orang mampir ke warung di Labuang, Somba, dan menceritakan pengalaman dan kesannya mencicipi ikan terbang, ikan yang harganya murah dimakan dengan jepa, sungguh meriah dan mengenyangkan.






Gambar 4. Kurasa beliau inilah 2 orang yang menulis artikel tentang ikan banggulung tapa di Kompas. Menikmati ikan terbang asap di salah satu warung di Somba. Di atas meja terhidang antara lain buras, jepa dan gogos.


Gambar 5. Sibuk mengipasi bara pattapang. Sabut kelapa kering memberi aroma khas pada ikan panggang ini. Ikan terbang segera siap disantap panas-panas.

Lalu ikan ini juga menarik perhatian adek kita, Murniaty, mahasiswa ilmu kelautan, Unhas. Pada tahun 2010, ia berangkat ke Somba untuk melihat penangkapan ikan terbang. Adek ini meneliti bagaimana menangkap ikan terbang dengan efisien dan tetap mengedepankan unsur ramah lingkungan. Alat yang disarankan adalah "Alat Tangkap Jaring Insang Hanyut".

Gambar 6. Gambar alat tangkap Jaring Insang Hanyut, dianggap sebagai alat tangkap tradisional tetapi terbukti merupakan alat tangkap ramah lingkungan.


Luas sekali masalah penangkapan ikan terbang dibahas di skripsi-nya. Jika ditelusuri, bisa memberikan pemahaman yang lengkap tentang  alat tangkap jaring insang hanyut, dan penjelasan yang mendalam tentang mengapa hasil tangkapan ikan terbang para nelayan bisa naik turun dan bagaimana jalan keluarnya untuk meningkatkan hasil tangkapan tersebut. Ada pula grafik-grafik menarik tentang naik turunnya hasil tangkapan sepanjang periode tahun 2000-an dan alas an dibalik kenaikan dan “keturunannya”. Apakah saudara-ku para nelayan di Somba pernah membacanya? Mungkin belum, ini link-nya.


3. Kabar prestasi
Kurang kita bicara Somba tanpa melihat mutiara prestisius dari pedalaman kecil ini. Perahu Somba, misalnya. Masa kecil kami bersaudara kental dengan cerita perahu Somba. Musim liburan, inilah masa paling indah untuk berenang sekitar perahu kecil nelayan Somba. Nelayan Somba biasa disebut dengan nama yang berbeda. Musim ikan terbang jenis tui-tuing, mereka disebut dengan “pattui-tuing”, musim ikan tembang, “pattembang”, dan nama mereka terus berganti sesuai hasil tangkapan mereka. Musim cumi, nelayan yang sama menjadi "paccumi'" yang tak pernah kudengar adalah musim ikan seribu, di wilayah kami disebut pandeangang peja, tetapi nelayannya tak pernah disebut 'pappeja'.

Kembali ke perahu Somba.

Gambar 7. Gambar  dua perahu Somba dengan latar belakang pulau Tai Manuq. Tai Manuq dalam bahasa Indonesia berarti tinja ayam. Penamaaan pulau konon diambil dari cerita bahwa pulau tersebut dipercayai tumbuh dari kotoran ayam milik seorang raja yang dikagumi dalam legenda masyarakat Mandar.


Cerita tentang perahu Somba bukan kepunyaan kami orang Somba semata. Konsep perahu Somba mulai dilirik di luar kabupaten bahkan di luar Propinsi. Atau bagaimana dengan prestasi sumber daya manusia-nya. Yang terdekat, ingin kusebut kakanda Professor Muris, dosen Fisika Universitas Negeri Makassar, beliau berasal dari Tinggas, sungguh membanggakan hati putra Somba jadi Professor. Atau Prof. Saeruddin Mandra, yang juga berbakti di UNM Makassar. Atau bibit baru tumbuh, ananda M. Dani Assegaf (8 tahun), siswa kelas 2 SDN III Somba, Kec. Sendana yang berkiprah dalam lomba Olimpiade Sains Kuark. Sungguh membesarkan hati. Saya akan menulis tentang mutiara-mutiara Somba ini suatu waktu untuk menginspirasi khalayak, khususnya untuk tumbuhnya kampung kelahiran-ku. Somba, tunggu kisahmu ya.

Reference List :
Cerita-ku kali ini diperkaya oleh gambar dan berita yang kuambil dari sumber berikut ini. Terima kasih dari Hira, semoga Allah membalas jerih payah kalian, kawan.

2.      Murniati. Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Terbang (Exocoetidae) Di Perairan Majene, Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat, Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas. Makassar.  2011.  Available from : http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/142/SKRIPSI%20LENGKAP.pdf?sequence=3, Viewed on : 12 April 2012.
3.      Sidik Pramono dan Heru Margianto, Ikan terbang mendarat di Somba. Kompas.com, edisi 18 Mey 2008. Available from : //travel.kompas.com/read/2008/05/18/08130770/Ikan.Terbang.Mendarat.di.Somba. Viewed on 12 April 2012.
4.      Perahu Somba Diminati Pelaut Dari Luar Sulbar, Antara News, 17 November 2009 23:08 WITA, Available from: http://makassar.antaranews.com/berita/10578/perahu-somba-diminati-pelaut-dari-luar-sulbar. viewed on 12 April 2012.
5.      Israr Ardiyansyah, “Dorong anak Indonesia berani bercita-cita tinggi”, Blog Indonesia Mengajar, 26 Juni 2011. Available from: http://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/dorong-anak-indonesia-berani-bercita-cita-tinggi, viewed on 12 April 2012.
6.  Jaring Insang Hanyut, available from :  http://3.bp.blogspot.com/_xBP4Fge9qiU/SlhqDBfofBI/AAAAAAAAAEY/37SJrV8otDQ/s400/purseillustccc.jpg, Viewed on 14 April 2012.
7. Tri Suharman, Panorama Tinja si ayam jago, Available from: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq8jPMhTXVYNeGjJ077fWQLKh310w88Q6isluvcNiI5-HYNMVobJNPpLrxT2nbLuQlKpJRdwLxkTbso1WVRXj6z_klUOF7F5Wm8veWwRfEHt8yUJ8DMtM-kDv595X8SwgdJ5RM3X3w4Qk/s1600/okmantap.jpg. Viewed on 14 April 2012.