Laporan saya yang dimuat dalam Citizen Reporter, koran Tribun Timur, Makassar
Apakah sebenarnya yang ingin dicapai oleh Universitas Islam Negeri
ketika memutuskan beralih dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri)
menjadi UIN? Apakah hanya untuk memenuhi tuntutan pasar di mana
sarjana-sarjana berlabel umum tampaknya lebih layak jual dibanding
sarjana-sarjana yang berlatarbelakang ilmu-ilmu yang ramai
dikeliru-pahami orang sebagai ilmu”khusus agama”?
Pertanyaan ini adalah
sebagian dari persoalan yang dibahas dalam seminar bertajuk “Integrasi
Keilmuan dalam Membangun Kampus Peradaban UIN Alauddin Makassar”. Seminar yang bertempat di gedung LT Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin
sore ini, Kamis, 22 Januari 2014 tersebut meraup seratusan peserta yang
dengan antusias mengikuti pemaparan dua pemateri utama, Prof. Dr. H.
Ahmad M. Sewang, MA dan Dr. Mustari Mustafa, M.Ag.
Dalam pemaparannya, Mustari menyatakan bahwa peralihan dari IAIN
menuju UIN bertolak dari sebuah cita-cita besar untuk menghapuskan
dikotomi sains dan agama yang telah berurat akar sejak lama baik di
tataran akademis maupun di masyarakat luas. Dosen Ilmu Filsafat pada
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN ini mengutip pendapat Ian G. Barbour
yang memetakan titik temu sains dan agama dalam 4 tipologi dan
menyatakan bahwa UIN diharapkan mampu untuk mencapai tipologi integral
yaitu suatu keadaan dimana sains dan agama mengalami fase sintesis.
Pencapaian semacam ini diharapkan mampu melahirkan sosok ilmuwan yang
memiliki kecerdasan majemuk, kompeten secara religius, logika,
linguistik, inter dan intra personal, visual dan estetik. Dalam tataran
praktis, menurut Mustari, nilai lebih luaran UIN misalnya bisa dilihat
dari kesalehan, kesantunan dan kepekaannya terhadap situasi sosial di
sekitar. Sementara, di bidang profesinya, jika misalnya ia sarjana
farmasi UIN, ia bukan hanya tahu mengenai ilmu meracik obat tetapi pula
mampu menimbang halal tidaknya suatu bahan, dan kompeten mencari bahan
alternative untuk menjaga umat dari bahan obat yang haram.
Lalu, apakah ini sudah tercapai? Asriyadi, salah satu peserta, turut
memberi tanggapan. Sebagai mahasiswa UIN, ia mengakui belum sepenuhnya
merasakan makna integrasi keilmuan seperti yang dibahas sore itu. Prof
Sewang, pemateri kedua membenarkan bahwa, hingga sejauh ini, konsep
integrasi keilmuan belum sepenuhnya bisa diterjemahkan dengan sempurna
dalam tataran praktis. Diskusi sekaitan isu integrasi keilmuan hingga
saat ini masih terus bergulir di kalangan akademisi dan pemerhati
pendidikan Islam. Format yang ingin dibentuk belum final, masih butuh
waktu dan proses yang panjang. Secara berseloroh, guru besar sejarah
Islam tersebut menyatakan, mungkin kampus peradaban sepersis yang
dicita-citakan UIN Alauddin
saat ini baru akan terwujud saat dirinya telah terbaring dalam liang
lahat. Namun, pungkasnya, langkah menuju ke sana harus dimulai sejak
sekarang.
Peradaban itu adalah sebuah cita-cita untuk menemukan keadaan yang baik dalam kehidupan. Sebagai satu cita-cita, maka peradaban mestilah diusung dengan kerja-kerja yang baik pula. Peradaban bukanlah pohon yang langsung ditanam lalu tinggal menunggu memetik hasilnya. Tidaklah sesederhana itu. Perlu proses yang panjang dan kemauan dari semua pihak yang komitmen dalam melaksanakannya. Betul kata Prof. Sewang, jika kita tidak capai sekarang, insya Allah anak cucu kita yang akan merasakannya. Wassalam
ReplyDeleteTerima kasih atas komentar pak Haidir. Mudah-mudahan suasana kampus yang dicita-citakan segera terwujud di UINAM, amin
ReplyDelete