Thursday 23 January 2014

Mengupas Kampus Peradaban di UIN Alauddin

Laporan saya yang dimuat dalam Citizen Reporter, koran Tribun Timur, Makassar

Apakah sebenarnya yang ingin dicapai oleh Universitas Islam Negeri ketika memutuskan beralih dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN? Apakah hanya untuk memenuhi tuntutan pasar di mana sarjana-sarjana berlabel umum tampaknya lebih layak jual dibanding sarjana-sarjana yang berlatarbelakang ilmu-ilmu yang ramai dikeliru-pahami orang sebagai ilmu”khusus agama”?

Pertanyaan ini adalah sebagian dari persoalan yang dibahas dalam seminar bertajuk “Integrasi Keilmuan dalam Membangun Kampus Peradaban UIN Alauddin Makassar”. Seminar yang bertempat di gedung LT Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin sore ini, Kamis, 22 Januari 2014 tersebut meraup seratusan peserta yang dengan antusias mengikuti pemaparan dua pemateri utama, Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA dan Dr. Mustari Mustafa, M.Ag.

Dalam pemaparannya, Mustari menyatakan bahwa peralihan dari IAIN menuju UIN bertolak dari sebuah cita-cita besar untuk menghapuskan dikotomi sains dan agama yang telah berurat akar sejak lama baik di tataran akademis maupun di masyarakat luas. Dosen Ilmu Filsafat pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN ini mengutip pendapat Ian G. Barbour yang memetakan titik temu sains dan agama dalam 4 tipologi dan menyatakan bahwa UIN diharapkan mampu untuk mencapai tipologi integral yaitu suatu keadaan dimana sains dan agama mengalami fase sintesis. Pencapaian semacam ini diharapkan mampu melahirkan sosok ilmuwan yang memiliki kecerdasan majemuk, kompeten secara religius, logika, linguistik, inter dan intra personal, visual dan estetik. Dalam tataran praktis, menurut Mustari, nilai lebih luaran UIN misalnya bisa dilihat dari kesalehan, kesantunan dan kepekaannya terhadap situasi sosial di sekitar. Sementara, di bidang profesinya, jika misalnya ia sarjana farmasi UIN, ia bukan hanya tahu mengenai ilmu meracik obat tetapi pula mampu menimbang halal tidaknya suatu bahan, dan kompeten mencari bahan alternative untuk menjaga umat dari bahan obat yang haram.

Lalu, apakah ini sudah tercapai? Asriyadi, salah satu peserta, turut memberi tanggapan. Sebagai mahasiswa UIN, ia mengakui belum sepenuhnya merasakan makna integrasi keilmuan seperti yang dibahas sore itu. Prof Sewang, pemateri kedua membenarkan bahwa, hingga sejauh ini, konsep integrasi keilmuan belum sepenuhnya bisa diterjemahkan dengan sempurna dalam tataran praktis. Diskusi sekaitan isu integrasi keilmuan hingga saat ini masih terus bergulir di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan Islam. Format yang ingin dibentuk belum final, masih butuh waktu dan proses yang panjang. Secara berseloroh, guru besar sejarah Islam tersebut menyatakan, mungkin kampus peradaban sepersis yang dicita-citakan UIN Alauddin saat ini baru akan terwujud saat dirinya telah terbaring dalam liang lahat. Namun, pungkasnya, langkah menuju ke sana harus dimulai sejak sekarang.

2 comments:

  1. Peradaban itu adalah sebuah cita-cita untuk menemukan keadaan yang baik dalam kehidupan. Sebagai satu cita-cita, maka peradaban mestilah diusung dengan kerja-kerja yang baik pula. Peradaban bukanlah pohon yang langsung ditanam lalu tinggal menunggu memetik hasilnya. Tidaklah sesederhana itu. Perlu proses yang panjang dan kemauan dari semua pihak yang komitmen dalam melaksanakannya. Betul kata Prof. Sewang, jika kita tidak capai sekarang, insya Allah anak cucu kita yang akan merasakannya. Wassalam

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas komentar pak Haidir. Mudah-mudahan suasana kampus yang dicita-citakan segera terwujud di UINAM, amin

    ReplyDelete