Saturday 25 August 2012

Pasar-Pasar di Adelaide

Catatan ini dimuat di koran  Mandar News, Sulawesi Barat, pada Agustus 2012.

Adelaide, adalah ibukota negara bagian Australia Selatan. Negara bagian ini seluas hampir 1 juta kilometer persegi dan kotanya ini adalah rumah bagi sekitar 1,5 juta penduduk.

 

 Ketika kolonialisasi Inggris bermula pada tahun 1836, terdapat sekitar 50 kelompok suku Aborigin di Adelaide, termasuk satu yang dianggap sebagai asal-muasal segenap bangsa Aborigin Australia “Kaurna People”, boleh dibaca dan di-Indonesia-kan seperti ini: orang-orang Ghana. Ghana yang ini, tentu berbeda dari Ghana Afrika. 

Sebagaimana yang sudah diceritakan dalam sejarah kelam kolonialisme, bangsa-bangsa ini dipunahkan secara massif oleh bangsa colonial Inggris. Populasi Aborigin di Adelaide, dan di Australia secara keseluruhan, tinggal segelintir yang tersisa.
http://farm7.staticflickr.com/6166/6165985383_2204b968a3_o.jpg
Statement of acknowledgment for Kaurna people. Photo was taken from http://farm7.staticflickr.com/6166/6165985383_2204b968a3_o.jpg

Menghormati keberadaan bangsa Aborigin, kuliah di Australia selalu dimulakan dengan slide pertama yang menyatakan pengakuan bahwa Australia adalah milik “Kaurna People” dan bahwa pemerintah dan seluruh rakyatnya mengakui keberadaan mereka, dan menghormati hak mereka.

Beralih dari cerita Aborigin, keberadaan saya di kota ini adalah untuk belajar atas biaya pemerintah Australia melaui AusAid. Tak dapat dihindari, bersekolah membutuhkan hiburan. Dan selain dari puluhan wahana wisata yang disajikan Adelaide,  pasar –pasar di Adelaide, ternyata bisa menjadi tempat hiburan.

Pasar di Adelaide dipelihara oleh pemerintah seperti memelihara fasilitas publik lainnya, dengan sangat telaten. Ada banyak pasar di Adelaide. Ada yang disediakan secara khusus oleh pemerintah, ada pula yang diorganisir oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan hobi atau kepentingan masing-masing.

salah satu sudut pasar Sentral Adelaide, Australia Selatan

Yang jamak dari semua jenis pasar ini adalah mereka pasti terorganisir dengan rapi, terpublikasi dengan menarik, jadwalnya ketat, dan jauh, sangat jauh dari kesan jorok dan kotor. Hal ini adalah sebagian di antara kualitas yang menyebabkan pengalaman ke pasar di Adelaide bisa menjadi pengalaman menghibur.

Pasar pertama yang sering saya kunjungi adalah Adelaide Central Market, Pasar Sentral Adelaide. Pasar ini beroperasi 5 hari dalam seminggu. Minggu dan Senin pasar tutup. Pasar beroperasi mulai pukul 7 atau pukul 9 pagi dan tutup pukul 3, pukul 5 atau paling telat pukul 9 malam. Jadwal ini kedengaran tidak teratur, tetapi warga sudah lazim menghafalnya karena jadwalnya tetap untuk hari yang sama. 

 

Pasarnya berada di bawah satu atap, hanya satu lantai. Tidak seberapa luas, sekira kompleks utama pasar Majene. Ada 80 pedagang bernaung di bawahnya. Konsep pasarnya adalah, “Real Food, Real People”, artinya kira-kira bahwa inilah tempat di mana anda bisa merasakan bertemu dengan orang Adelaide yang sebenarnya dan makanan yang betul-betul dijamin kesegarannya.

Kesan bersih terbangun dari tidak ruwetnya suasana dengan seliweran kendaraan. Lantai dasar menyediakan tempat parkir. Biaya parkir dan pajak kendaraan yang sangat mahal serta cukup teraturnya kendaraan umum menyebabkan masyarakat cenderung enggan memiliki kendaraan pribadi. 

Kesan bersih dan menarik juga karena barang berupa buah dan sayuran ditata dengan sangat menarik dan teratur. Terdapat dua tempat untuk membeli daging bersertifikat halal. Setiap los ditunggui 2 atau 3 pedagang yang mengenakan celemek, penutup kepala dan sarung tangan. Tak ada sampah kulit dan ceceran sisa barang di lantai. Bau yang menyengat pun tidak ada.

Pedagang daging dengan penutup kepala dan kostum celemeknya

Yang menarik adalah di pasar ini nuansa multikultur betul-betul kental terasa. Suatu hari, saya menyaksikan hal yang tak lazim ketika penjual buah orang China bersitegang dengan pembeli, berwajah India. Ketika perseteruan memanas, tetangga los, berwajah Arab dating melerai, lalu pengunjung lain seorang bapak Australia membantu membenahi buah yang hamper berceceran lantaran kehebohan itu. Betul-betul multi etnis, terutama bahwa satu lagi, penontonnya, ya, asal Indonesia.

Kepatuhan pada jadwal terasa ketika setengah jam sebelum jadwal pasar tutup, prosesi dagang mulai dibatasi dan penutup los mulai agak diturunkan, para pedagang sibuk membenahi barang dan sampah. Tepat di jam tutup pasar, semua los sudah tertutup dan tak ada aktifitas lagi. Sampah di simpan di penampungan untuk dijemput hari itu juga oleh pengelola sampah.

http://cdn4.vtourist.com/15/4032681-Stirling_in_Autumn_Stirling.jpg
Stirling, suatu sudut di musim gugur, foto milik http://cdn4.vtourist.com/15/4032681-Stirling_in_Autumn_Stirling.jpg

Pasar lain di Adelaide yang pernah saya kunjungi adalah pasar yang diadakan  hanya beberapa kali setahun di musim gugur, kali itu di Stirling. Pasarnya diatur menarik, sebagai festival. Ada panggung hiburan, ada los-los makanan.  Pasar ini hampir melulu menyajikan bunga, tanaman, pupuk, hasil perkebunan, barang-barang untuk membuat pupuk dan satu yang unik, ada tempat untuk memberi ASI. Capek berkeliling, saya dan beberapa teman duduk di taman, setelah memilih makanan yang boleh kami makan dari menu yang rata-rata haram

Saya, tersenyum manis.. :)  di depan pojok ibu menyusui di Adelaide Stirling Festival, musim gugur 2012.

Pasar lainnya di adakan setiap 2 minggu, Namanya Sunday Market, pasar Minggu.  Tempatnya selalu  berbeda. Tempat yang dipilih, biasanya taman. Atau jika hujan, sebuah aula besar. Pertama mengunjungi Sunday Market saya agak kecewa karena ternyata yang dijual adalah barang-barang bekas. Kesan saya waktu itu, jika kita membersihkan rumah dan meletakkan barang yang tampaknya sayang untuk langsung dibuang tetapi juga tak seberapa penting untuk disimpan, nah, barang-barang rongsokan itulah yang boleh diangkut ke Sunday Market.

Kesan itu berubah ketika kengganan saya tepis dan saya mulai mengamati dari dekat barang-barang yang dijual. Ya, ampun, semuanya sungguh barang yang menarik. Di sinilah kita bisa melihat dan membeli barang-barang antik. Pemutar piringan hitam, boneka kayu, piring-piring porselen, lukisan tua dan keramik yang diproduksi di jaman dulu. Harganya pun ada yang tetap terjangkau sekitar 5 sampai 10 dolar Australia yang sekira 50 sampai 100-an ribu rupiah.

Pakaian bekas atau cakar pun ada. Tempat yang menarik untuk membawa isi lemari yang tak dipakai lagi untuk dijual. Konsep pasar ini memang, “apa yang bagimu rongsokan, mungkin bagi orang lain harta pusaka”.

Menjelang pulang, saya dengan seorang kawan mampir membeli sayur dan buah yang dijual oleh pedagang asal China, yang berkata mereka memanennya dari halaman rumah mereka. Kami duduk minum kopi hangat seharga 4AU$ dengan semacam martabak sayuran buatan orang Italia sembari memandang anak-anak berlarian di taman menunggu ibu mereka selesai berbelanja barang antik.

Pasar ditutup tepat pukul 12. Saya terpukau oleh 2 gadis muda Australia yang begitu bangga dengan apa yang mereka dapat. Dua buah kopor kulit tua yang sebagian permukaannya telah berjamur. Saya mereka-reka mungkin mereka akan mengubahnya menjadi barang dekorasi rumah yang menarik.

Pasar-pasar Adelaide lainnya masih begitu banyak dan puluhan, dengan konsep yang berbeda. Beberapa pasar bisa diakses langsung dari internet karena mengelola situs khusus untuk diakses publik seperti Pasar Sentral Adelaide di http://www.adelaidecentralmarket.com.au/ Pasar lainnya bisa dipilih dengan mengakses banyak situs. Seperti puluhan pasar unik yang bisa dipilih untuk dikunjungi di http://www.you.com.au/market/market-adelaide.htm

Suka duka berpuasa di rantau: Bikang Doang yang memelet gadis Iran itu

Artikel di bawah ini dimuat di koran Fajar pada Jumat, 10 Agustus 2012 | 22:21:36 WITA yang  saat saya kutip sudah mencapai 181 HITS :)
Judulnya "Lasagna Italia vs Bikangdoang Saat Berbuka Puasa" bisa diakses melalui
http://www.fajar.co.id/read-20120809222136-lasagna-italia-vs-bikangdoang-saat-berbuka-puasa


Saya berada di Adelaide, Australia Selatan, sejak 9 Januari 2012, sebagai salah satu dari 22 orang mahasiswa Indonesia penerima AusAid Scholarship untuk belajar di the University of Adelaide. 



Ini adalah pengalaman pertama saya berpuasa di rantau orang.
Yang dirindukan dari Ramadhan selain dari kesempatan untuk beribadah adalah kesemarakannya. Kesemarakan boleh tercipta karena kebersamaan dengan keluarga dan kerabat kian hangat dengan kesempatan berbuka, bersahur, bertarawih dan bertadarruz bersama. Kesemarakan pun hadir karena aneka makanan khas menjadi menu sehari-hari. Kesemarakan ke-tiga adalah berisik dari corong masjid dan kemeriahan gerobak sahur yang, walau dirindukan, sesekali bisa sampai di taraf mengganggu ketenangan beribadah.


Ketika tiba di Adelaide, sendirian tanpa keluarga, Ramadhan menjadi momen yang semakin mengentalkan rasa rindu pada kampung halaman. Mengurangi rindu membutuhkan ekstra perjuangan. Di tengah runtinitas kuliah, mesti pandai dalam menyelaraskan waktu dan menu dengan rekan lain dari tanah air agar berbuka bersama dari rumah ke rumah bisa sukses. 

Urusan makan bersama biasa-nya sangat tidak merepotkan tuan rumah. Kami mengadopsi cara Australia yaitu dengan shared-plate yang artinya setiap orang membawa 1 atau 2 macam makanan dari rumah masing-masing dalam jumlah yang diperkirakan minimal untuk lima atau enam orang. Setiap kali, pesertanya pun tak banyak. Paling banyak belasan. 
  
Dengan ber-shared-plate, tuan rumah akan menginformasikan berapa orang yang diundang dan makanan apa yang tamu tersebut setujui untuk mereka bawa. Setiap orang tinggal menyesuaikan apa yang ingin mereka bawa agar tidak ada menu yang oppo’. Menu-nya bebas, boleh masakan Indonesia, atau negara lain. Sesekali kita ketemu sup Tom Yum Thailand bersanding semeja dengan Lasagna Italia dan kambeng-nya orang Majene.  

Kambeng alias bikang doing rupanya cocok dengan lidah dari berbagai negara. Suatu hari teman kami, Eli, seorang master software komputer dari Iran, wajahnya bersemu karena terus kepingin nambah. Hal itu ketahuan karena tuan rumah kerepotan meladeninya minta maaf tiap mengambil satu lagi.  
Datang dengan tangan kosong pun tak apa, hanya malu-lah jika tiba-tiba di tengah percakapan terlontar pertanyaan, “Di antara ini semua, yang mana yang Hira bawa?”  Dalam acara ini, nasi dan peralatan makan biasanya menjadi tanggung jawab tuan rumah.

Bertarawih di masjid adalah kesempatan yang super langka. Di Adelaide tercatat 9 masjid. Tempatnya berpencar dan jauh dari tempat tinggal saya. Yang punya kendaraan bisa menyempatkan berbuka ke masjid lalu menunggu bertarawih, tarawihnya 1 macam saja, 8 rakaat dengan 3 witir.  Selesainya pukul 9-an malam. Pada musim dingin begini jam 9 sudah seperti larut malam. Jalanan sepi, jarang yang berkeliaran karena toko-toko sudah tutup setiap harinya pada pukul 5 sore. Kebijakan untuk mengharuskan toko ditutup lebih awal adalah untuk memberi kesempatan kepada mereka yang telah bekerja seharian agar pulang ke rumah membagi waktu untuk keluarganya.  Bukan untuk berlama-lama menghabiskan waktu keliaran di toko sampai larut. 

Walaupun Adelaide terkenal sebagai kota yang cukup aman di Australia, saat pembekalan awal di universitas, seorang narasumber dari kepolisian SA, perempuan berwajah Asia bertubuh mungil dan kelihatan sangat tidak mirip polisi menyarankan sedapat mungkin menghindari jalan malam jika tak perlu. Akhirnya, tarawih sendiri di rumah menjadi pilihan paling aman.

Pengalaman paling unik adalah menghadiri acara buka puasa yang digelar oleh ISSUA (Islamic Student Society of the University of Adelaide), Jumat 3 Agustus 2012. Kami dipinjami ruangan besar di lantai 6 universitas, namanya Rumours CafĂ©. Undangan yang disebarkan lewat facebook dan pamflet di mushollah kampus sukses menggaet 500-an tamu. 

Makanan disiapkan oleh donatur, seorang warga Australia, migran puluhan tahun lalu dari Fiji. Kokinya juga migran Fiji tetapi masakannya bercita rasa India. Penggiat utama acara brother Khalil Abdul Maliq, mualaf dari China. Imam sholatnya Eslam Abideen, mahasiswa asal Mesir. Yang menyajikan makanan dan mengatur antrian tamu adalah pelajar Malaysia dan Indonesia. Tamu-tamunya orang Australia, Irak, Afghanistan, Ghana, Nigeria, China dan lainnya. Semua mengentalkan rasa betapa Islam hidup di semua belahan dunia.


 
Di tengah kesibukan menyiapkan makan malam jama’ah, saya di-bisiki kawan, Naimah, dari Malaysia tentang pemuda China di shaf paling belakang yang kulihat selalu tertinggal dalam gerakan sholat. Dia bukan Muslim, tetapi begitu kukuh mengikuti sholat hingga tarwih rakaat ke – 8. Saat witir, kulihat pemuda itu duduk meringkuk memeluk lutut dekat kursi-kursi yang dipinggirkan tanpa memutuskan pergi.

Keunikan lainnya adalah karena setiap Jumat sore, seperti hari itu, tepat di bawah ruang sholat dadakan itu, di lantai lima, diadakan pertunjukan musik. Sudah bisa ditebak, konser lazimnya ditonton disertai acara minum-minum, terlebih Australia terkenal sebagai salah satu pemilik wine terbaik di dunia.
Bisa dibayangkan­­­­­­­­­­­­­­­­­ bagaimana sholat di atas lantai yang didentumi musik menghentak sembari mereka-reka bagaimana polah penikmatnya di lantai bawah. Tentu cobaan berat untuk kekhusyukan. Penasaran dengan keributan itu, seorang   jamaah, ibu berumur 50-an yang bermigrasi dari Fiji 30 tahun silam menanyaiku. Saat saya jelaskan asal-muasal dentum itu, dia menggumam dalam aksen Australia yang kental. Lihat, katanya, inilah yang namanya jahannam di lantai bawah, jannah di lantai atas. 

# Nurhira Abdul Kadir, dosen UIN Alauddin, mahasiswa pada School of Population Healt and Clini9cal Practice, the University of Adelaide.

Coto Makassar Meriahkan Kartini day di Adelaide Tribun Timur - Sabtu, 21 April 2012 17:41 WITA

Tulisan aslinya sedikit lebih panjang, kutipan ini saya ambil sesuai dan
Sebagaimana ia dimuat di http://makassar.tribunnews.com/2012/04/21/coto-makassar-meriahkan-kartini-day-di-adelaide

Puncak peringatan hari Kartini, 21 April 2012 berlangsung sangat meriah di Goodwood Community Centre. Adelaide, Australia Selatan. Acara dihadiri ratusan warga Indonesia di Adelaide. 

Puluhan bule juga tampak ikut menikmati kemeriahan acara, baik sebagai pengunjung ataupun panitia. Tampak pula beberapa mahasiswa Indonesia asal Sulsel, Mujahiduddin, dosen UIN Alauddin dan Yadi Muliadi yang tengah menempuh pendidikan di Flinders University.

Acara dimulai pada pukul 11 siang waktu setempat dan walaupun diumumkan bahwa acara akan berakhir pada pukul 3 sore, kemeriahan suasana tampak tak berkurang. Puluhan warung dadakan menyediakan beragam makanan khas Indonesia.

semangkuk coto dan para pengawalnya, ketupat, jeruk, bawang goreng, bawang pre dan lombok-lombok. Keramahan Makassar yang menggoda. Foto milik https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsSJvqJE5_cvNRvDEPODjJlSKmQx5YQNG0AiU9uvvr0_HdDrvF8We-s1Fm_Ma0poIWK6kK0qS7etemHET4MJyMv05UcKJ1s304WBebZ8H0kDBifo4rf-qGIGaFWmXUssGNSb5WHnQrX0ww/s1600/DSC_1147.JPG
Warung ini menyediakan makanan mulai dari bakso, mie Aceh, sate Padang, sop kambing, mpek-mpek Palembang, dan tak lupa Coto Makassar. Hasil penjualan sebagian disumbangkan untuk yayasan amal yang menangani perempuan dan anak di Indonesia.



Riuh rendah suasana lantaran ajang ini tampaknya dipakai pula sebagai acara reuni. Tak jarang terdengar pekik gembira di sana-sini.

Pengunjung dihibur dengan atraksi kesenian khas Indonesia seperti tari-tarian dan dangdutan. Penonton terbawa semangat dari suara Kevin Mawardi, mahasiswa asal Aceh yang mengiringi gerak dinamis belasan penari saman. Sebagian tak kuasa untuk tak ikut berjoget saat Dewi, gadis Indonesia yang kini menetap di Australia melantunkan lagu yang beberapa waktu lalu marak terdengar di Indonesia, Alamat Palsu, Ayu Ting-ting.
salah satu pertunjukan band dalam Kartini Day di Adelaide April 2012


Dalam kesempatan yang sama, hadir pula pihak konsulat jenderal RI Sidney yang membuka pelayanan lapor diri, perpanjangan visa, exit permit serta urusan keimigrasian lain.

Komunitas Indonesia di Australia Selatan sangat aktif dalam mengenalkan budaya Indonesia. Sukses menggelar acara tahunan, festival budaya Indonesia, Indofest, awal April lalu,  komunitas juga aktif dalam acara yang diadakan pemerintah Australia.


Pada peringatan Australia Day, 26 Januari lalu, peserta parade Indonesia memperoleh penghargaan sebagai peserta dengan kostum terbaik.(*/tribun-timur.com)

Penulis : Citizen Reporter
Editor : Muh. Irham
Catatan, foto pertunjukan band dalam tulisan ini milik http://www.bicadelaide.org.au/?page_id=154

Tuesday 7 August 2012

menuju ke laut

Menuju ke laut selalu merupakan judul yang memikat,
dan STA membuat menuju ke laut, puisi yang menyihir.

Memandang wajah Pangali-ali dari Adelaide membuatku ingin kembali mengulik ketenangan dan deru dalam puisi STA sembari menikmati tekanan dari tugas kuliah yang jatuh tempo minggu ini.

Hm, ternyata bersekolah jauuuuuuh dari rumah bukan hanya soal membaca materi berbahasa asing dan menggulatinya, tetapi lebih pada bagaimana bernafas dengan dada sesak oleh kehampaan yang ditinggal oleh tawa-mu yang terlalu renyah untuk dinikmati dengan kesedihan, anak-anakku.

Dear my three little children, karena senyum-mu aku harus berdiri dan berlari menyongsong angin paling memusar. Mari ledakkan keriangan !

kami telah meninggalkan engkau
tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan
sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.

tebing curam ditentang diserak
dalam berlomba bersama angin.

(dari STA, menuju ke laut)