Artikel di bawah ini dimuat di koran Fajar pada
Jumat, 10 Agustus 2012 | 22:21:36 WITA yang saat saya kutip sudah mencapai 181 HITS :)
Judulnya "Lasagna Italia vs Bikangdoang Saat Berbuka Puasa" bisa diakses melalui
http://www.fajar.co.id/read-20120809222136-lasagna-italia-vs-bikangdoang-saat-berbuka-puasa
Saya berada di Adelaide, Australia Selatan, sejak 9 Januari
2012, sebagai salah satu dari 22 orang mahasiswa Indonesia penerima AusAid
Scholarship untuk belajar di the University of Adelaide.
Ini adalah pengalaman
pertama saya berpuasa di rantau orang.
Yang dirindukan dari Ramadhan selain dari kesempatan untuk
beribadah adalah kesemarakannya. Kesemarakan boleh tercipta karena kebersamaan
dengan keluarga dan kerabat kian hangat dengan kesempatan berbuka, bersahur,
bertarawih dan bertadarruz bersama. Kesemarakan pun hadir karena aneka makanan
khas menjadi menu sehari-hari. Kesemarakan ke-tiga adalah berisik dari corong
masjid dan kemeriahan gerobak sahur yang, walau dirindukan, sesekali bisa
sampai di taraf mengganggu ketenangan beribadah.
Ketika tiba di Adelaide, sendirian tanpa keluarga, Ramadhan
menjadi momen yang semakin mengentalkan rasa rindu pada kampung halaman.
Mengurangi rindu membutuhkan ekstra perjuangan. Di tengah runtinitas kuliah, mesti
pandai dalam menyelaraskan waktu dan menu dengan rekan lain dari tanah air agar
berbuka bersama dari rumah ke rumah bisa sukses.
Urusan makan bersama biasa-nya sangat tidak merepotkan tuan
rumah. Kami mengadopsi cara Australia yaitu dengan shared-plate yang
artinya setiap orang membawa 1 atau 2 macam makanan dari rumah masing-masing
dalam jumlah yang diperkirakan minimal untuk lima atau enam orang. Setiap kali,
pesertanya pun tak banyak. Paling banyak belasan.
Dengan ber-shared-plate, tuan rumah akan
menginformasikan berapa orang yang diundang dan makanan apa yang tamu tersebut
setujui untuk mereka bawa. Setiap orang tinggal menyesuaikan apa yang ingin
mereka bawa agar tidak ada menu yang oppo’. Menu-nya bebas, boleh masakan
Indonesia, atau negara lain. Sesekali kita ketemu sup Tom Yum Thailand
bersanding semeja dengan Lasagna Italia dan kambeng-nya orang
Majene.
Kambeng alias bikang doing rupanya cocok
dengan lidah dari berbagai negara. Suatu hari teman kami, Eli, seorang master
software komputer dari Iran, wajahnya bersemu karena terus kepingin nambah.
Hal itu ketahuan karena tuan rumah kerepotan meladeninya minta maaf tiap
mengambil satu lagi.
Datang dengan tangan kosong pun tak apa, hanya malu-lah jika
tiba-tiba di tengah percakapan terlontar pertanyaan, “Di antara ini semua, yang
mana yang Hira bawa?” Dalam acara ini, nasi
dan peralatan makan biasanya menjadi tanggung jawab tuan rumah.
Bertarawih di masjid adalah kesempatan yang super langka. Di
Adelaide tercatat 9 masjid. Tempatnya berpencar dan jauh dari tempat tinggal
saya. Yang punya kendaraan bisa menyempatkan berbuka ke masjid lalu menunggu
bertarawih, tarawihnya 1 macam saja, 8 rakaat dengan 3 witir. Selesainya pukul 9-an malam. Pada musim
dingin begini jam 9 sudah seperti larut malam. Jalanan sepi, jarang yang
berkeliaran karena toko-toko sudah tutup setiap harinya pada pukul 5 sore. Kebijakan
untuk mengharuskan toko ditutup lebih awal adalah untuk memberi kesempatan
kepada mereka yang telah bekerja seharian agar pulang ke rumah membagi waktu
untuk keluarganya. Bukan untuk
berlama-lama menghabiskan waktu keliaran di toko sampai larut.
Walaupun Adelaide terkenal sebagai kota yang cukup aman di
Australia, saat pembekalan awal di universitas, seorang narasumber dari
kepolisian SA, perempuan berwajah Asia bertubuh mungil dan kelihatan sangat
tidak mirip polisi menyarankan sedapat mungkin menghindari jalan malam jika tak
perlu. Akhirnya, tarawih sendiri di rumah menjadi pilihan paling aman.
Pengalaman paling unik adalah menghadiri acara buka puasa
yang digelar oleh ISSUA (Islamic Student Society of the University of
Adelaide), Jumat 3 Agustus 2012. Kami dipinjami ruangan besar di lantai 6
universitas, namanya Rumours Café. Undangan yang disebarkan lewat facebook
dan pamflet di mushollah kampus sukses menggaet 500-an tamu.
Makanan disiapkan oleh donatur, seorang warga Australia,
migran puluhan tahun lalu dari Fiji. Kokinya juga migran Fiji tetapi masakannya
bercita rasa India. Penggiat utama acara brother Khalil Abdul Maliq,
mualaf dari China. Imam sholatnya Eslam Abideen, mahasiswa asal Mesir. Yang
menyajikan makanan dan mengatur antrian tamu adalah pelajar Malaysia dan
Indonesia. Tamu-tamunya orang Australia, Irak, Afghanistan, Ghana, Nigeria,
China dan lainnya. Semua mengentalkan rasa betapa Islam hidup di semua belahan
dunia.
Di tengah kesibukan menyiapkan makan malam jama’ah, saya
di-bisiki kawan, Naimah, dari Malaysia tentang pemuda China di shaf paling
belakang yang kulihat selalu tertinggal dalam gerakan sholat. Dia bukan Muslim,
tetapi begitu kukuh mengikuti sholat hingga tarwih rakaat ke – 8. Saat witir,
kulihat pemuda itu duduk meringkuk memeluk lutut dekat kursi-kursi yang
dipinggirkan tanpa memutuskan pergi.
Keunikan lainnya adalah karena setiap Jumat sore, seperti
hari itu, tepat di bawah ruang sholat dadakan itu, di lantai lima, diadakan
pertunjukan musik. Sudah bisa ditebak, konser lazimnya ditonton disertai acara
minum-minum, terlebih Australia terkenal sebagai salah satu pemilik wine terbaik
di dunia.
Bisa dibayangkan bagaimana sholat di atas
lantai yang didentumi musik menghentak sembari mereka-reka bagaimana polah
penikmatnya di lantai bawah. Tentu cobaan berat untuk kekhusyukan. Penasaran
dengan keributan itu, seorang jamaah, ibu
berumur 50-an yang bermigrasi dari Fiji 30 tahun silam menanyaiku. Saat saya
jelaskan asal-muasal dentum itu, dia menggumam dalam aksen Australia yang
kental. Lihat, katanya, inilah yang namanya jahannam di lantai bawah, jannah
di lantai atas.
# Nurhira Abdul Kadir, dosen UIN Alauddin, mahasiswa pada
School of Population Healt and Clini9cal Practice, the University of Adelaide.