Wednesday 29 October 2014

Tentang sebuah nama

Bahagian Pertama dari Serial Masuk TV

Sulit membayangkan bagaimana asal muasalnya untuk bisa masuk Tipi dengan gaya. Selain dari pengalaman di-shooting dari kejauhan, larut bersama mereka yang histeris disorot kamera, pengalaman pertamaku masuk Tipi, tampaknya, adalah ketika diwawancarai sebagai dokter di tenda pengungsian kasus bentrok Aralle Tabulahan Mambi, Polmas, Sulsel. Itu tahun 2003. Masa indah penganten baru yang dinikmati dengan bolak-balek ke lokasi pengungsi.

Saat itu, Syahrul Yasin Limpo datang sebagai wakil gubernur Sulsel meninjau lokasi pengungsian di kecamatan Darma, Polmas. Datang bersama helikopternya yang membuat warga kucar-kacir menonton adalah serombongan wartawan. Mereka bekerja sigap, efektif dan buru-buru. Saya pernah magang jadi wartawan abal-abal di sebuah koran kampus, jadi tahu tak lama lagi mereka pasti menghampiriku.

Berdiri di antara kertas resep yang dibuat dari guntingan kertas bekas pakai, tabung dan kaleng obat, adalah saya yang mendadak disergap gugup. Saya memakai baju kaos dan celana training spack, lusuh karena sudah dipakai keluar masuk barak. Tapi itulah pakaian kebesaran petugas kesehatan kalo membutuhkan kerja sigap di lapangan. Saya pasti jelek sekali hari itu. Berminyak dan keringatan.

Seorang teman melaporkan pengamatannya atas penampilan saya dalam berita siang RCTI besoknya. “Saya hampir tidak mengenalimu,” Katanya. Mereka menuliskan namaku dengan versi yang tak kusangka-sangka: Hirawati.

Kedua kali masuk tipi adalah semacam hadiah tak terduga. Saya, suami dan anak-anak jalan-jalan hendak melihat masjid terapung yang baru saja rampung dibangun. 

Masjid terapung. Foto ini milik  Adik Fiqri Muttaqin. Diambil dari http://fikrimamuttaqin.wordpress.com/2012/09/04/masjid-amirul-mukminin-pesona-baru-makassar/


Sembari keliling-keliling mengagumi masjid dari berbagai sudut, tertanamlah sketsa awal puisi “Di seberang Hotel Imperial Aryaduta” di kepala. Puisi itu bernasib baik karena  akhirnya diberi kesempatan lolos di buku Komunitas Penyair Perempuan Indonesia.

Ketua KPPI ibu Yenti Nurhidayat, memperlihatkan buku Antologi Puisi 100 penyair perempuan Indonesia, di dalam mana, satu puisiku yang terinspirasi dari kunjungan ke masjid terapung, Makassar turut termuat. Foto milik http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1413105070/buku-antologi-puisi


Selain sketsa puisi, rejeki nomplok ada wartawan sedang membuat liputan Ramadhan di situ. Wartawannya kebetulan kawan bapaknya anak-anak. Sembari memandangi mereka mengatur-atur lokasi kamera, bapaknya anak-anak berbisik, “Wah, bakalan ada yang masuk tipi, nih.”

Aku melihatnya menulis-nulis sesuatu di kertas. Entah apa, wartawan yang kawannya itu mendekat, ia meminta saya diwawancarai tsebagai pengunjung masjid terapung. Saya segera menyiapkan diri.  Apa daya, saya akhirnya masuk tipi dengan penampilan sedikit lebih baik. Kostum jalan-jalan dengan keluarga tentu tidak sekusut kostum petugas pengungsian.

Waktu sang wartawan Tivi pamit, suamiku menyerahkan kertas kecil pada kawannya. “Ini nama istri saya,” Katanya. Rupanya ia juga ikut prihatin mendengarku berduka tentang nama Hirawati di syutingan pengungsian tempo hari.

Dua kali masuk tipi, kurva penampilan beranjak naik.

Ketiga kali masuk tipi, bagaimana?
Kita tunggu cerita berikutnya.

J