Bahagian Pertama dari Serial
Masuk TV
Sulit membayangkan bagaimana asal muasalnya untuk bisa masuk
Tipi dengan gaya. Selain dari pengalaman di-shooting dari kejauhan, larut
bersama mereka yang histeris disorot kamera, pengalaman pertamaku masuk Tipi,
tampaknya, adalah ketika diwawancarai sebagai dokter di tenda pengungsian kasus
bentrok Aralle Tabulahan Mambi, Polmas, Sulsel. Itu tahun 2003. Masa indah
penganten baru yang dinikmati dengan bolak-balek ke lokasi pengungsi.
Saat itu, Syahrul Yasin Limpo datang sebagai wakil gubernur
Sulsel meninjau lokasi pengungsian di kecamatan Darma, Polmas. Datang bersama helikopternya
yang membuat warga kucar-kacir menonton adalah serombongan wartawan. Mereka
bekerja sigap, efektif dan buru-buru. Saya pernah magang jadi wartawan
abal-abal di sebuah koran kampus, jadi tahu tak lama lagi mereka pasti
menghampiriku.
Berdiri di antara kertas resep yang dibuat dari guntingan
kertas bekas pakai, tabung dan kaleng obat, adalah saya yang mendadak disergap
gugup. Saya memakai baju kaos dan celana training spack, lusuh karena sudah
dipakai keluar masuk barak. Tapi itulah pakaian kebesaran petugas kesehatan
kalo membutuhkan kerja sigap di lapangan. Saya pasti jelek sekali hari itu.
Berminyak dan keringatan.
Seorang teman melaporkan pengamatannya atas penampilan saya
dalam berita siang RCTI besoknya. “Saya hampir tidak mengenalimu,” Katanya.
Mereka menuliskan namaku dengan versi yang tak kusangka-sangka: Hirawati.
Kedua kali masuk tipi adalah semacam hadiah tak terduga.
Saya, suami dan anak-anak jalan-jalan hendak melihat masjid terapung yang baru
saja rampung dibangun.
Masjid terapung. Foto ini milik Adik Fiqri Muttaqin. Diambil dari http://fikrimamuttaqin.wordpress.com/2012/09/04/masjid-amirul-mukminin-pesona-baru-makassar/ |
Sembari keliling-keliling mengagumi masjid dari berbagai
sudut, tertanamlah sketsa awal puisi “Di seberang Hotel Imperial Aryaduta” di
kepala. Puisi itu bernasib baik karena
akhirnya diberi kesempatan lolos di buku Komunitas Penyair Perempuan
Indonesia.
Selain sketsa puisi, rejeki nomplok ada wartawan sedang
membuat liputan Ramadhan di situ. Wartawannya kebetulan kawan bapaknya
anak-anak. Sembari memandangi mereka mengatur-atur lokasi kamera, bapaknya
anak-anak berbisik, “Wah, bakalan ada yang masuk tipi, nih.”
Aku melihatnya menulis-nulis sesuatu di kertas. Entah apa,
wartawan yang kawannya itu mendekat, ia meminta saya diwawancarai tsebagai pengunjung
masjid terapung. Saya segera menyiapkan diri.
Apa daya, saya akhirnya masuk tipi dengan penampilan sedikit lebih baik.
Kostum jalan-jalan dengan keluarga tentu tidak sekusut kostum petugas
pengungsian.
Waktu sang wartawan Tivi pamit, suamiku menyerahkan kertas
kecil pada kawannya. “Ini nama istri saya,” Katanya. Rupanya ia juga ikut
prihatin mendengarku berduka tentang nama Hirawati di syutingan pengungsian
tempo hari.
Dua kali masuk tipi, kurva penampilan beranjak naik.
Ketiga kali masuk tipi, bagaimana?
Kita tunggu cerita berikutnya.
J